Universitas Gajah Mada adalah salah satu universitas terbaik di Indonesia. Didirikan pada masa pasca kemerdekaan, Universitas Gajah Mada yang kemudian disebut UGM menjadi simbol perjuangan rakyat Indonesia. UGM menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mampu mendirikan universitas sendiri. Karena itulah universitas ini identik dengan sebutan universitas kerakyatan. Hal ini tercermin dalam warna jas almamaternya yang menyerupai karung goni.
Sebagai universitas yang menjadi simbol perjuangan rakyat Indonesia, tentu UGM memiliki visi ke depan untuk menjadi universitas berkelas dunia atau “World Class University”. Namun untuk mewujudkannya diperlukan kerja cerdas dan kerja keras. Tentunya ada syarat-syarat yang harus di penuhi oleh UGM. Menurut Quacquarelli Symonds (QS), lembaga riset yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, dalam rilisnya pada 2010 menyebutkan bahwa ada beberapa kriteria inti yang harus dipenuhi perguruan tinggi diantaranya : kualitas penelitian, lulusan kerja, kualitas pengajaran dan infrastruktur.
Tulisan ini akan berfokus pada ketersediaan infrastruktur di UGM. Sebagai salah satu indikator yang harus dipenuhi untuk menjadi kampus berkelas dunia. Kampus yang katanya kerakyatan ini memiliki mahasiswa yang berasal dari berbagai latar belakang. Baik suku, budaya bahkan kondisi fisik yang berbeda(baca :difabel).Keberadaan teman-teman difabel inilah yang mengharuskan adanya infrastruktur yang aksesibel untuk menunjang perkuliahannya. Iya, betul teman-teman difabel pun juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gajah Mada karena mereka juga lolos melalui seleksi masuk UGM sama seperti yang lain. Walaupun memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan orang pada umumnya akan tetapi bukan berarti teman-teman difabel tidak mampu belajar seperti mahasiswa lainnya.
Keberadaan mahasiswa difabel di UGM tentu menuntut universitas untuk memastikan ketersediaan infrastruktur yang aksesibel bagi mahasiswa difabel agar mahasiswa difabel memiliki akses yang sama seperti yang lain. Mengingat salah satu persyaratan untuk menjadi World Class University adalah ketersediaan infrastruktur yang memadai bagi seluruh civitas akademika yang ada di lingkungan universitas. Maka sudah seharusnya universitas melakukan pembangunan infrastruktur yang aksesibel dan universal. Sehingga dapat di akses oleh seluruh civitas akademika tanpa terkecuali termasuk para mahasiswa difabel.
Sesungguhnya walaupun masih belum memadai UGM telah memiliki infrastruktur yang di peruntukan bagi para mahasiswa difabel. Misalnya saja ketersediaan guiding block di beberapa lokasi di dalam kampus. Sayangnya posisi guiding block yang tidak massive hanya menimbulkan kesan ketersediannya hanya sebagai “prasyarat” bagi UGM agar bisa dikatakan sebagai kampus yang aksesibel. Selain itu masih banyak penghalang seperti pohon dan beberapa jalur guiding block yang sudah rusak dan tidak terhubung, mempersulit teman-teman difabel netra untuk beraktivitas. Begitu juga dengan ketersediaan lift yang masih kurang, sehingga mempersulit aksesibilitas mahasiswa pengguna kursi roda. Hanya beberapa kampus yang memiliki lift dan ramp sebagai pengganti tangga untuk membantu mahasiswa pengguna kursi roda untuk beraktivitas.
Penulis berasumsi bahwa pembangunan infrastruktur bagi para mahasiswa difabel ini kurang disertai sosialisasi terhadap orang-orang yang ada di lingkungan universitas. Sehingga efeknya adalah infrastruktur yang sesungguhnya di peruntukan bagi para mahasiswa difabel kurang dapat dimaksimalkan penggunaannya. Maka pembangunann dan penyediaan infrastruktur yang disertai sosialisasi menjadi wajib hukumnya agar kasus serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang. Pembangunan berbagai infrastruktur yang aksesibel tersebut tentu tidak bisa dilakukan secara instan akan tetapi pasti memerlukan proses.
Desain yang penulis tawarkan dalam tulisan ini sangat sederhana, namun merupakan hal essensial yang harus dipenuhi untuk menjamin tersedianya infrastruktur bagi seluruh civitas akademika UGM. Pertama, yang paling mudah untuk dipenuhi adalah ketersediaan laptop atau komputer bicara serta mesin scanner untuk mengalihkan buku hard copy menjadi soft copy di seluruh perpustakaan baik jurusan, fakultas maupun universitas. Hal ini akan membuat para difabel netra tidak kesulitan lagi dalam mengakses literatur yang ada di perpustakaan. Selain itu dapat mengurangi ketergantungan mahasiswa difabel netra terhadap bantuan orang lain dengan kata lain akan semakin meningkatkan kemandirian mahasiswa difabel netra.
Kedua, perencanaan pembangunan gedung-gedung baru dalam beberapa tahun ke depan harusnya telah mempertimbangkan aksesibilitas bagi para mahasiswa difabel. Contohnya, penyediaan lift yang aksesibel bagi mahasiswa pengguna kursi roda sehingga bisa mengikuti perkuliahan di lantai manapun. Ataupun alternatif lain yaitu pemberian tanggga dengan ram apabila tidak tersedia lift dalam gedung tersebut. Tangga berbentuk ram adalah salah satu wujud pembangunan yang universal karena semua orang bisa mengaksesnya tanpa terkecuali, baik mahasiswa difabel dan non difabel sama-sama bisa mengakses jadi tidak terkesan mengistimewakan para mahasiswa difabel.
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah penyediaan kamar mandi bagi difabel terutama bagi pengguna kursi roda. Hal ini dikarenakan kamar mandi pada umumnya tidak dapat diakses oleh pengguna kursi roda, mengingat ukuan kursi roda yang cukup memakan ruang. Kemudian di dalam kamar mandi tersebut harus terdapat pegangan agar memudahkan para difabel ketika berada di dalam kamar mandi.
Keempat, bagi mahasiswa difabel netra tentu harus di sediakan guiding block yang letaknya tidak hanya berada diluar kampus. Namun juga di dalam lingkungan kampus, sehingga difabel netra tidak kesulitan untuk beraktivitas di lingkungan kampus. Di dalam lift, seharusnya disediakan juga tombol berbentuk braille dan notifikasi suara, sehingga mahasiswa difabel netra bisa menggunakannya secara mandiri. Untuk mahasiswa tuli sediakan panduan berupa teks yang dapat di baca agar mempermudah aktivitas para mahasiswa tuli.
Desain di atas adalah contoh sederhana bagaimana mewujudkan pembangunan infrastruktur yang bisa digunakan oleh semua civitas akademika UGM. Untuk kedua kalinya penullis tekankan pembangunan infrastruktur di UGM harus di sertai sosialisasi terhadap civitas akademika di seluruh penjuru universitas. Hal ini penting agar kesadaran para civitas akademika akan adanya para mahasiswa difabel yang membutuhkan kesetaraan dalam hal aksesibilitas dapat terbangun sejak dini. Tak lupa dukungan dari kebijakan yang ramah terhadap teman-teman difabel juga harus dilakukan. Kebijakan-kebijakan afirmatif yang dapat membantu kelancaran studi para mahasiswa difabel mulai dari sekarang harus di pikirkan oleh para pemangku kebijakan.
Di akhir tulisan ini penulis ingin mengingatkan bahwa pembanggunan infrastruktur bagi para difabel ini tentu tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja. Semua pihak harus bersinergi dan berdampingan dalam melakukannya, baik para pemangku kebijakan di lingkup rektorat, dekanat dan para mahasiswa harus bergandengan tangan demi terwujudnya lingkungan yang aksesibel.
Penulis : Tio Tegar Wicaksono, Fakultas Hukum UGM 2016