Stop Penggunaan Kata Autis sebagai Candaan Sehari-hari

Masih ingat kejadian pada pertengahan tahun lalu, dimana seorang ustadzah kondang dikecam oleh masyarakat akibat salah penggunaan istilah dalam dakwahnya? Ustadzah tersebut menggunakan istilah “autis” dalam dakwahnya untuk menggambarkan seseorang yang terlalu asyik dengan gadgetnya. Hal itu membuat dirinya menuai kecaman dari masyarakat dan hampir berurusan dengan ranah hukum. Untungnya masalah ini dapat diselesaikan dengan cara damai setelah ia meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat.

Hal yang perlu disoroti dalam hal ini adalah seringkali kita menggunakan istilah-istilah “autis” sebagai candaan sehari-hari, dan menggambarkan seseorang yang terlarut dalam dunianya sendiri atau melakukan sesuatu yang menyimpang. “Dasar lo autis, enggak jelas,” “Maaf ya dia emang agak autis gitu, suka asik sendiri,” dan sebagainya tidak jarang kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Autis atau autisme sendiri berarti adalah kelainan perkembangan sistem saraf pada seseorang dan bukanlah penyakit kejiwaan karena ia merupakan suatu gangguan yang terjadi pada otak sehingga menyebabkan otak tersebut tidak dapat berfungsi selayaknya otak normal dan hal ini termanifestasi pada perilaku penyandang autisme. Kondisi ini mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.

Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas, dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Dengan pengertian tersebut, apakah sesuai jika digunakan sebagai seseorang yang berperilaku “negatif” atau “rebel”? Tidak seharusnya penggunaan kata “autis” dijadikan candaan sehari-hari, bukan hanya akan menyakiti seseorang dengan autisme, tetapi juga keluarga dan kerabatnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kerabat terdekat dari seorang penyandang autisme mengalami masa-masa berat untuk merawat penyandang autisme. Bahkan tingkat stress seorang ibu penyandang autisme setara dengan tingkat stress seorang tentara yang sedang berperang. Penderita autisme sendiri pun tentu tidak ingin kondisi itu terjadi pada diri mereka. Maka tolong hargai. Tidak ada salahnya kita menunjukkan empati kita, merasakan berada dalam posisi mereka. Tentu mereka akan tersakiti jika orang lain menggunakan kata “autis” sebagai candaan, namun tidak tahu perasaan sebenarnya jika satu kerabat menjadi penyandang autisme.

Jadi, mari kita mulai untuk tidak menggunakan kata “autis” sebagai candaan. Dimulai dari diri sendiri, dan mengingatkan orang-orang di sekitar kita. Hal ini menunjukkan rasa empati kita terhadap orang lain, dan merupakan kebaikan yang akan kita tuai buahnya suatu saat nanti.

Penulis : Alya Nur Ramadhani, Fakultas Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM  2016

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top