Sejarah mengenai Konferensi Habitat ketiga yang diselenggarakan di Quito, Equador, pada tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah populasi masyarakat yang tinggal di wilayah kota seluruh dunia adalah 54,5% dari total penduduk dunia. Hal ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa pencapaian pembangunan yang berkelanjutan akan tergantung pada arah kebijakan dan tata kelola urbanisasi. Apabila dikerucutkan, unsur kunci sustainable urban development adalah :
- Peraturan perundangan yang dapat menjamin pelaksanaan pembangunan perkotaan
- Perencanaan dan perancangan ruang kota (urban spatial planning)
- Pembiayaan kota (urban financing)
Dewasa ini, unsur perencanaan dan perancangan ruang kota memiliki permasalahan kompleks yang menjadi pekerjaan setiap elemen kehidupan yang ada di kota. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidaksinambungan antara perencanaan dan aspek humanis. Salah satu barometer tingkat kemajuan perancangan ruang suatu kota dapat dilihat dari penyediaan sarana fisik yang layak, seperti trotoar. Mengapa trotoar? Sebab trotoar merupakan sarana yang penting sebagai akses kita menuju tempat tujuan dengan berjalan kaki. Trotoar merupakan puncak peradaban kita. Barometer utama terciptanya kota layak huni atau tidak adalah dengan melihat jalur pedestriannya.
Belakangan ini kita sudah terbiasa mendengar pengelolaan kota yang berlomba-lomba menciptakan jalur pedestrian yang ramah, manusiawi, dan tentunya aksesibel bagi difabel. Salah satu contoh nyatanya adalah Pemerintah Yogyakarta yang baru saja menata dan merevitalisasi jalur pedestrian di Malioboro dengan biaya Rp22 miliar. Sebelumnya pedestrian tersebut dijadikan sebagai tempat parkir yang menutupi akses pejalan kaki, bahkan keberadaan guiding block juga dinilai percuma karena tertutupi oleh adanya parkir. Saat ini trotoar telah diperluas, PKL direlokasi, bangku taman berdaya klasik dan lampu antik menambah keromantisan kota pelajar. Guiding block yang dulu penuh dengan hambatan seperti PKL dan parkir, kini layak untuk dilewati. Hal ini menjadi bentuk implementasi dari RTBL (Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan) Malioboro yang salah satu poin perencanaannya adalah penataan ulang pedestrian sebagai akses pejalan kaki dan public space yang inklusi.
Di Surabaya, ada jalur pedestrian di sekitar jalan Embong Malang. Di jalan ini, bola keramik raksasa berwarna kuning bertebaran di tepi trotoar. Ketika musim kemarau tiba, bunga tatebuya bermekaran: putih, merah muda, dan kuning. Maksud dari ditanamnya tumbuhan ini adalah untuk menyejukkan trotoar agar mempertegas suasana humanis di pedestrian. Sementara itu di Bandung, sekitar 12 titik dipercantik dengan trotoar bermaterial beton berpola dan granit dengan anggaran Rp 168miliar. Kota Bandung memiliki standar “Panca Trotoar” yakni ketersediaan tempat sampah, pot bunga, kursi, dan bola batu sebagai pengaman dan penerangan jalan.
Walaupun beberapa daerah di Indonesia telah mempercantik trotoarnya, akan tetapi tak ada satu pun jalur pedestrian di Indonesia yang ideal karena belum adanya rencana induk bagi pejalan kaki dan tidak ada integrasi antar instansi yang berkepentingan atas jalur pedestrian. Kebanyakan perancangan pedestrian hanya mengacu pada RTBL dan tidak melihat kesinambungan dan keterkaitan satu pedestrian dengan yang lainnya. Sebagai contoh, jalur pedestrian yang memiliki guiding block hanya di beberapa tempat menunjukkan belum adanya master plan yang jelas mengenai pembangunan pedestrian yang inklusi.
Seyogyanya semua orang dapat mengakses pedestrian dengan mudah karena jalur pedestrian merupakan hak mendasar warga dan merupakan elemen utama dalam membangun kota. Ketika hal itu tidak terpenuhi, maka dampaknya akan sangat memengaruhi kemajuan kota kedepannya. Lantas, dengan pertanyaan sederhana: Seberapa jauhkah integrasi dan kesinambungan penataan kawasan pedestrian di Indonesia? Dan untuk siapakah trotoar itu?
Penulis: Bima Indra, Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah & Kota UGM 2015