Kastrat (SAUDC UGM)
Moderator : Devi Ratnasari
Narasumber : Bpk. Ignatius Yunanto
Notula : Nur Alifah
Setiap hari adalah pembelajaran, setiap waktu adalah kejadian, dan setiap saat adalah peristiwa yang mungkin menjadi kenangan. Apabila setiap masa adalah inspirasi tanpa henti, mungkin saja difabel merupakan contoh kecil dalam jajaran inspirasi. Pada awalnya, orang yang memiliki fisik/mental yang berbeda disebut sebagai penyandang cacat. Namun, istilah penyandang cacat ini diganti dengan istilah penyandang disabilitas dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Difabel bukan sebutan untuk mereka yang tidak bisa melakukan suatu hal seperti orang normal, namun difabel dapat melakukan apapun dengan cara mereka sendiri meskipun dengan cara yang sedikit berbeda. Seringkali difabel selalu dianggap sebagai orang yang selalu membutuhkan bantuan dan ulur tangan orang lain dalam setiap kesempatan. Pada kenyataannya, banyak pula difabel yang jauh lebih berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik termasuk pada bidang pekerjaan. Banyak difabel yang menjadi wirausahawan dan menunjukkan bahwa mereka mampu atau bahkan mungkin saja kita sendirilah yang tidak mampu. Bukan berarti difabel selalu identik dengan ketidakmampuan untuk mandiri , mereka jauh lebih mandiri untuk terus bangkit dalam setiap proses hidup yang ada.
Hal ini juga terjadi kepada Bapak Ignatius Yunanto, seorang difabel daksa dengan sekelumit cerita hidup yang dapat membangkitkan keteguhan jiwa. Beliau adalah sosok pria tangguh yang berpegang teguh pada prinsipnya bahwa ia takkan pernah memanfaatkan ijazah yang dimilikinya, karena gelar bukanlah sesuatu yang berharga bila seseorang tak mampu bekerja dengan baik pada nantinya. Beliau adalah sosok inspiratif dengan semangat bangkit yang tinggi dalam merintis usaha serta membuktikan bahwa difabel juga mampu berkarya. Pada awalnya, beliau adalah seorang atlet voli dengan fisik normal. Namun, pada suatu saat, selepas pertandingan voli yang beliau ikuti, beliau mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Luka akibat kecelakaan itu cukup serius pada bagian kaki kiri sampai tulang belakangnya. Kemudian, pada tahun 2001, beliau mendapatkan serangan lain yaitu tumor pada kaki kanannya, sementara luka kecelakaan belum juga terobati. Setelah itu, beliau memutuskan pilihan besar dalam hidupnya, merubah segala impian dan bakat atletnya dengan amputasi pada kaki kanannya. Selama 8 sampai 9 bulan pasca beliau memutuskan untuk amputasi, beliau merasa terpuruk dan tidak bermanfaat bagi orang lain. Namun, beliau tetap berjuang dengan keluarga sebagai motivasinya.
Hal utama yang mendorong Pak Yun untuk tetap berjuang adalah keingintahuan dan kemauannya yang tinggi. Baginya, kemauan yang tinggi untuk terus belajar akan membuat kita senantiasa memahami dan menjalani jalan terbaik yang senantiasa diberikan Tuhan dalam langkah dan proses kehidupan. Latar belakang dari Pak Yun adalah seorang teknisi, dan minatnya menjurus pada hal yang berkaitan dengan mesin, teknik, dan sejenisnya. Sebelum berpikiran untuk meneruskan minatnya sebagai pekerjaan, beliau menjalani hidup dengan melakukan berbagai macam pekerjaan. Misalnya, budidaya jangkrik, bercocok tanam, sampai membuat pupuk kandang untuk diperjualbelikan. Posisi beliau sebagai kepala keluarga memotivasi beliau untuk terus semangat dan mau mencoba.
Pada tahun 2006, tepatnya saat gempa mengguncang wilayah Yogyakarta, beliau pernah diminta menjadi motivator untuk para korban yang sebagian menjadi difabel sepertinya. Memang sulit untuk memberikan motivasi pada orang lain karena karakter massing-masing individu berbeda. Karena kejadian tersebut, beliau berpikiran untuk menyalurkan minatnya sekaligus memberikan sedikit solusi agar difabel mudah melakukan aktivitas seperti biasanya dengan usaha modifikasi motor untuk para difabel. Modal awal dari usaha modifikasi motor beliau dapatkan dari “Caritas”, sejenis lembaga sosial kemanusiaan yang menaungi beberapa negara salah satunya Indonesia. Perjalanannya untuk berbagi semangat dan memberikan motivasi tidak berkutat pada daerah Jogja saja. Beliau juga diminta untuk menjadi pembicara sekaligus trainer pelatihan pembuatan modifikasi sepeda motor difabel sampai ke luar Pulau Jawa. Adapula pelatihan yang dilakukan di luar Pulau tersebut masih dalam naungan lembaga Caritas. Dalam pelatihannya di Flores, beliau singgah di sebuah panti asuhan yang mayoritas para ibu rumah tangga hanya menunggu suaminya pulang bekerja tanpa melakukan kegiatan lain . Beliau akhirnya memberikan dorongan kepada ibu-ibu tersebut untuk dapat melakukan usaha rumahan agar memiliki aktivitas lain yang menguntungkan.
Terkadang, ketika difabel sudah menolak empati kita dan merasa bahwa atau mengucapkan “Anda tidak merasakan apa yang saya rasakan,” berat bagi kita untuk terus mencoba memotivasi mereka. dalam keadaan seperti ini, usahakan kita tetap apa adanya dan kita juga bisa mencoba solusi lain dengan mengajak sosok difabel lain yang memiliki kasus serupa agar bersama mereka lebih semangat dan tangguh dalam menjalani kehidupan. Bila ingin membantu, kita harus memahami dan tahu apa kemauan mereka. Dari sedikit kisah Bapak Ignatius Yunanto, kita dapat mengerti bahwa siapa saja dapat menjadi difabel dengan hal apapun yang tidak terduga. Namun, dari mereka kita juga belajar tentang pentingnya kekuatan tekad dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan dan segala macam peruntuh semangat. Mereka juga mengajarkan tentang arti keberanian dalam menjalani segala liku hidup. Hilangkan gengsi dan malu dalam diri kita, karena tujuan kita yang masih panjang tidak akan tercapai dengan kegengsian kita.
“Jangan pernah berkata tidak bisa dalam segala hal yang anda lalui apabila anda belum mencoba melakukannya. Berusahalah terlebih dahulu, bila anda menemukan jalan buntu dalam perjalanan anda, bergegaslah cari solusi terbaik. Tetap semangat dan optimis dalam melalui proses pencapaian tujuan anda, serta jangan lupa sertakan bait doa dalam setiap langkah anda.”—Kastrat SAUDC UGM