Mewujudkan Pemilu Akses bagi Penyandang Disabilitas

Tahun 2019 disebut-sebut sebagai tahun politik karena bertepatan dengan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin baru Indonesia. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara memiliki peran penting sekaligus unsur krusial sebagai partisipan dalam penyelenggaraannya. Seluruh rakyat Indonesia tanpa dibedakan ras, suku, agama, dan tak terkecuali penyandang disabilitas yang telah memenuhi syarat sebagai calon pemilih, diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya secara bijak. Berdasarkan studi penjajakan1 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI bekerja sama dengan KPU terhadap pemilu 2014 lalu, diperoleh hasil bahwa partisipasi pemilih khususnya penyandang disabilitas masih tergolong kurang. Oleh karena itu, hal ini sebaiknya menjadi perhatian bagi semua kalangan termasuk pemerintah untuk dapat meningkatkan partisipasi pemilih, khususnya penyandang disabilitas.

Salah satu bentuk nyata dari usaha meningkatkan partisipasi pemilih difabel dapat berupa menjamin kondisi tempat pemungutan suara (TPS) layak dan aksesibel. Namun, sangat disayangkan beberapa TPS pada pemilu 2014 lalu kondisinya masih tergolong tidak aksesibel bagi para penyandang disabilitas. Banyak di antaranya tidak memenuhi kriteria pemilu akses yang dikeluarkan oleh Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA Penca) dalam modulnya tentang pemilu akses2. Menurut PPUA Penca, lokasi TPS yang baik adalah terletak di tempat yang rata, lebar pintu masuk dan keluar minimal 90 cm, ukuran tinggi meja bilik suara 75 cm dan berongga, tinggi meja kotak suara 35 cm, terdapat alat bantu coblos untuk pemilih tuna netra, dan terdapat formulir C3 atau formulir pendampingan bagi penyandang disabilitas. Lokasi TPS yang tidak rata, letak kotak suara yang terlalu tinggi, dan pintu masuk TPS yang terlalu sempit, merupakan beberapa contoh dari kondisi yang menjadi kendala pada pemilu lima tahun lalu.

Selain itu, kendala juga ditemukan dalam proses pendataan calon pemilih difabel. Sejumlah keluarga tidak terbuka bahkan malu mengungkapkan adanya anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas. Begitu pula dari pihak petugas yang mendata calon pemilih, kebanyakan dari mereka masih menganggap informasi mengenai jenis disabilitas tidak penting sehingga kolom tersebut dibiarkan kosong. Padahal, informasi ini penting untuk menyesuaikan alat bantu yang diperlukan dan mengetahui cara berinteraksi dengan pemilih difabel tersebut. Dalam hal ini, diharapkan KPU lebih gencar dalam memberikan sosialisasi dan pelatihan sesuai dengan modul pemilu akses kepada kadernya dan seluruh pihak terkait. Untuk meningkatkan partisipasi pemilih difabel dapat dilakukan dengan mewujudkan pemilu akses terlebih dahulu. Pemerintah melalui KPU sudah seharusnya dapat menjamin hal tersebut dengan melakukan beberapa upaya, seperti meninjau kelayakan lokasi TPS dan melakukan sosialisasi akan pentingnya keterlibatan pemilih difabel dalam pemilihan umum. Di tahun 2019 ini, KPU kembali menandatangani nota kesepahaman dengan PPUA Penca3 sehingga diharapkan PPUA Penca dapat menjadi pengawas sekaligus ikut serta dalam melindungi hak pilih kelompok difabel. Adanya kerja sama yang sinergis dari seluruh pihak terkait merupakan langkah awal untuk mewujudkan pemilu 2019 menjadi pemilu akses bagi penyandang disabilitas.

Sumber:

  1. https://kpu.go.id/koleksigambar/Partisipasi_Pemilih_pada_Pemilu_2014_Studi_Penjajakan.pdf
  2. https://kpu.go.id/koleksigambar/PPUA_Modul_Ringkas_Pemilu_Akses_Signed_Fix1.pdf
  3. https://news.detik.com/berita/3961143/bawaslu-teken-mou-bareng-ombudsman-komnas-ham-dan-ppua-penca

Penulis: Sindy Novi Nurjanah / FIB 2018

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top