JINGGA DI KARNNAMANOHARA

Pada hari Jumat (26/4/2019) yang lalu, UKM Peduli Difabel UGM berkesempatan untuk mengunjungi SLB Karnnamanohara di Yogyakarta dengan nama acara Jingga di Karnnamanohara. Makna dari nama ini adalah warna jingga yang memberi kesan hangat dan bersemangat serta merupakan simbol dari petualangan, optimisme, percaya diri dan kemampuan dalam bersosialisasi. Maka, Jingga di Karnnamanohara diharapkan mampu memberi optimisme dan kesan hangat itu. Hari itu, kami bertemu anak-anak dari SLB Karnnamanohara yang khusus menangani tipe difabel tuli maupun hard of hearing (ringan, sedang, berat). Berhubung yang kami temui adalah anak-anak di jenjang taman kanak-kanak (TK), di sepanjang acara yang kami lakukan adalah bermain bersama dihiasi dengan canda tawa anak-anak maupun dari teman-teman UKM. Sikap terbuka dari anak-anak membuat kami tergugah untuk melakukan semaksimal mungkin apa yang bisa kami berikan untuk mereka.

gambar pensos interaksi

 

Karena kedatangan kami bertepatan dengan hari siaga bencana, maka sebelum memulai acara, kami dibagi ke dalam kelas-kelas untuk mengikuti kegiatan tersebut.  Ketika simulasi siaga bencana berlangsung, terlihat murid-murid di SLB Karnnamanohara dapat mengikuti jalannya simulasi dengan baik dan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana yang disimulasikan terjadi. Seusai simulasi, acara pun dimulai dan anak-anak juga sangat kooperatif dalam mengikuti kegiatan yang diberikan, seperti mewarnai, bermain games, dan lain lain. Meskipun di awal acara mereka terlihat malu-malu, namun seiring dengan jalannya waktu, anak-anak ini lebih terbuka dan bahkan dapat menginisiasi interaksi terlebih dulu, salah satu contohnya adalah ketika mereka meminta bantuan mengambilkan pensil warna dan ada yang meminta untuk mewarnai lagi. Dan lagi, tidak ada penolakan ketika harus bergandengan tangan atau terjadinya kontak fisik.

gambar pensos interaksi 2

 

Salah satu hal yang didapatkan dari observasi, adalah bahwa anak-anak ini seringkali menepuk pundak dari belakang—yang ternyata merupakan cara mereka untuk mendapatkan perhatian. Dan saat bermain bola bersama, anak-anak terlihat sangat antusias dan menjadi lebih terbuka pada panitia. Anak-anak ini juga suka sekali diajak foto-foto. Ketika diajak berkomunikasi pun, mereka dapat mengerti dengan baik ketika ditanyakan nama, usia, dsb. Tetapi, ada sedikit kesulitan dalam menginterpretasi ketika anak-anak ini mengajak komunikasi dengan bahasa isyarat atau bahasa tubuh, mungkin karena kurang terbiasa juga. Hal yang kami temukan ini bertolak belakang dengan pernyataan yang diberikan oleh Most dkk., (2011) dan Yuhan (2013), yang berargumen bahwa anak tuli, menghindari interaksi dengan anak dengar karena takut akan gagal dalam berkomunikasi.

Selain itu, dari observasi yang kami lakukan, terlihat bahwa interaksi dengan teman-teman sebayanya berjalan seperti pada umumnya, tidak ada kendala berarti yang dialami. Proses interaksi yang mereka lakukan dengan bahasa tubuh dapat cukup dimengerti oleh satu sama lain dengan pemberian tanggapan yang cukup responsif. Hal ini didukung juga oleh pernyataan dari Most, dkk (2011), bahwa anak tuli memiliki pengalaman yang baik ketika berinteraksi dengan sesama anak tuli sehingga interaksi di antara mereka berjalan dengan sukses.

gambar pensos inetaraksi 3

Sumber:

Lelyana, M. L. S. (2017). Retrieved from https://repository.usd.ac.id/8986/2/119114018_full.pdf

Yuhan, X. (2013). Peer Interaction of Children with Hearing Impairment. International Journal of Psychological Studies, 5.

Most, T., Ingber, S., & Heled-Ariam, E. (2011). Social Competence, Sense of Loneliness, and Speech Intelligibility of Young Children With Hearing Loss in Individual Inclusion and Group Inclusion. Journal of Deaf Studies and Deaf Education.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top