Siapa yang Sepakat?

Oleh : Risko Krismawan/ Vokasi 2017

Di kehidupan ini setiap orang diciptakan secara unik dan berbeda. Namun, banyak kesepakatan yang dibentuk yang justru mengurangi nilai dari unik dan berbeda itu sendiri. Mungkin hal ini dirasa biasa saja atau bahkan menguntungkan dan dirasa nyaman untuk sebagian besar orang, tetapi tidak untuk semua orang.

Misalnya kata membaca. Dalam KBBI, “baca” dapat diartikan sebagai “melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati)”. Hal ini secara tidak sadar membentuk pemikiran masyarakat bahwa hal dasar yang harus dimiliki seseorang adalah penglihatan. Lalu, bagaimana dengan ciptaan Tuhan yang disebut difabel netra? Apakah sah ketika mereka dikatakan tidak bisa membaca?

Seharusnya kata “membaca” dimaknai secara luas, karena jika ditinjau dari tujuannya, membaca adalah proses untuk memperoleh informasi. Seharusnya tidak ada lagi pernyataan bahwa seorang difabel netra dikatakan tidak bisa membaca, karena mereka dapat memperoleh informasi dengan membaca (meraba) huruf braile ataupun memperoleh informasi dengan menggunakan indera pendengaran. Berita yang dilansir oleh VOA Indonesia https://www.voaindonesia.com/a/penyandang-difabel-di-solo-gelar-tpa-al-quran-braille/1958664.html mengatakan bahwa di solo, terdapat suatu kegiatan membaca Al Qur’an Braille secara kolektif atau bersama-sama. Dengan demikian, haruskah difabel netra sepakat bahwa membaca harus menggunakan indera penglihatan?

Kemudian, salah satu hal yang erat kaitannya dengan membaca adalah cara komunikasi yang disepakati dan nyaman dilakukan oleh kebanyakan orang, yakni komunikasi secara verbal. Hal ini tentu menjadi problem untuk teman-teman bisu tuli. Apakah sah ketika mereka dikatakan tidak dapat berkomunikasi dengan baik? Seharusnya tidak, karena ketika mereka diberi fasilitas alat bantu dengar maka pernyataan itu sudah terpatahkan. Selain itu, mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang seharusnya dapat dipelajari oleh kebanyakan orang yang disebut non-difabel. Dalam https://www.brilio.net/sosok/cerita-2-anak-tuna-rungu-yang-harumkan-nama-indonesia-di-argentina-180406w.html# disebutkan 2 teman bisu tuli bernama Udana Maajid Pratista dan Yusi Aprilia mewakili indonesia dalam acara Children Camp di Argentina yang diadakan oleh World Federation Deaf Youth Section. Dulunya Udana mengalami hambatan untuk berkomunikasi. Namun, semua mulai berubah ketika ia mempelajari bahasa isyarat bersama ibunya hingga ia dan Yusi berhasil mengharumkan nama Indonesia. Lalu adilkah meminta difabel rungu menyesuaikan cara komunikasi dengan kebanyakan orang?

Selama kesepakatan masih berdasarkan kebanyakan orang, maka akan selalu hidup ketidakadilan untuk seorang difabel. Lingkungan yang selalu menggeneralisasikan segala hal akan melahirkan stigma buruk bagi difabel dan menghilangkan esensi keunikan masing-masing individu sebagai manusia ciptaan Tuhan. Lingkungan yang semacam ini akan membuat seorang difabel dikatakan berkebutuhan khusus. Sebagai manusia, seharusnya dengan kesadaran penuh kita tidak membeda-bedakan yang memang beda, dan tidak mengkotakkan apa yang sudah di dalam kotak. Difabel adalah aku, difabel adalah kamu, difabel adalah kita, karena semua orang memiliki kekhususannya masing-masing dengan kedudukan yang setara. Semua makhluk adalah beda, semua makhluk adalah sama, dan hidup adalah tentang saling mengasihi bukan saling mengasihani. Oleh karena itu, mari kita tidak sepakat untuk kesepakatan yang menimbulkan ketidakadilan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top