Gambar Kegiatan Movie Screening
Pada tanggal 20 April 2019 lalu, Departemen Kastrat UKM Peduli Difabel menyelenggarakan kegiatan Movie Screening & Discussion film Black (2005). Film ini disutradarai oleh Sanjay Leela Bhansali dan mengambil inspirasi dari kehidupan dan perjuangan Helen Keller. Film ini bercerita tentang Michelle McNally (Rani Mukerji), seorang gadis buta-tuli, dan hubungannya dengan gurunya Debraj Sahai (Amitabh Bachchan) yang kemudian menderita penyakit Alzheimer.
Michelle adalah seorang gadis yang kehilangan penglihatan dan pendengarannya setelah pulih dari sebuah penyakit pada usia 2 tahun. Ia tumbuh dengan keterbatasan untuk melihat, mendengar, dan berkomunikasi, sehingga ia menjadi anak yang kasar dan tidak dapat mengendalikan diri. Ketika ia menginjak usia 8 tahun, kedua orang tuanya yang hampir putus asa menghadapi Michelle bertemu dengan seorang guru “eksentrik” yang pada akhirnya, melalui kerja keras, dapat membantu Michelle menemukan cara belajar dan berkomunikasi meskipun dengan keterbatasannya. Pada akhirnya, Michelle dapat menjadi orang yang mandiri dan sukses berkat dukungan dari lingkungannya.
Dari sesi penayangan film dan diskusi, kegiatan ini menghasilkan beberapa pembahasan sebagai berikut.
Parenting
Pada awalnya, kedua orang tua Michelle melakukan beberapa kesalahan saat mendidik Michelle. Ibu Michelle bersikap terlalu memanjakan, sehingga Michelle tidak mau belajar dan berusaha meregulasi dirinya. Di sisi lain, ayah Michelle justru bersikap terlalu keras, dengan memberi punishment berupa hukuman fisik yang memberikan rasa sakit. Selain itu, mereka memperlakukan Michelle secara tidak manusiawi, yaitu dengan mengalungi bel di leher Michelle seperti binatang, dengan tujuan untuk mendeteksi keberadaannya apabila Michelle menghilang. Mereka juga hampir memasukkan Michelle yang masih kecil ke rumah sakit jiwa karena sudah putus asa dengan perilaku Michelle yang terkesan aneh.
Untungnya, ibu Michelle tegar dan tak mudah putus asa dalam memperjuangkan yang terbaik untuk Michelle. Ketegaran ibu Michelle memberi contoh bahwa peran keluarga dalam membentuk anak berkebutuhan khusus sangat besar. Ibu dan adiknya sangat suportif dalam membantu Michelle memperoleh pendidikan. Alih-alih merasa malu atau menganggap Michelle sebagai aib, keluarga Michelle justru berusaha mendukung Michelle agar dapat sukses. Biasanya, orang-orang di sekitar anak berkebutuhan khusus langsung merasa putus asa melihat keterbatasan anak tersebut kemudian membiarkannya menjadi tidak mandiri dan memiliki sikap yang buruk. Orang-orang juga cenderung mengasihani anak berkebutuhan khusus karena mereka mengalami keterbatasan dan tidak seperti anak pada umumnya.
Pembelajaran dan pendidikan
Sebagai seorang anak yang tumbuh dengan ketidakmampuan untuk melihat dan mendengar, indera Michelle yang membantunya belajar hanya penciuman dan perabaan (taktil). Karena keterbatasan inderanya, informasi yang ia terima mengenai lingkungan amat sangat terbatas. Proses belajarnya menjadi terhambat, perilakunya menjadi terkesan aneh, dan ia sering mengalami frustrasi karena tidak dapat dipahami maupun memahami orang-orang dan keadaan di sekitarnya. Meskipun begitu, Michelle tetap perlu belajar agar memiliki martabat dan kemandirian. Kondisi Michelle tidak menghambatnya belajar, tetapi membuatnya memiliki cara belajarnya sendiri. Misalnya, untuk mengenali seseorang, ia mencium dan meraba tangannya.
Untuk mengenali benda di sekitarnya, seperti bayi pada umumnya, Michelle mempelajari kosa kata dengan metode asosiasi. Tetapi asosiasi yang dapat dilakukan Michelle adalah dengan meraba gerakan bahasa isyarat, meraba gerakan bibir, atau meraba bentuk-bentuk alfabet di kulitnya, kemudian mengasosiasikannya dengan benda yang ia kenali melalui perabaan pula. Ia juga belajar dari reward & punishment yang ia peroleh untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk. Selain itu, untuk mengajari regulasi emosi, saat Michelle mengalami tantrum, ia didiamkan sampai lelah sendiri, sehingga kemudian ia bisa belajar bahwa tantrum tidak bisa membuatnya memperoleh apa yang ia inginkan.
Kondisi lingkungan
Michelle beruntung karena berasal dari keluarga berlatar belakang sosial ekonomi tinggi. Keluarga dan teman-temannya tidak menstigma, justru mendorongnya untuk belajar. Bahkan, rektor di sebuah universitas bersedia menyediakan akses untuk Michelle menempuh pendidikan tinggi. Kampusnya menyediakan kesempatan belajar yang sama bagi Michelle sembari mengakomodasi kebutuhan khususnya, misalnya dengan menyediakan mesin ketik braille dan literatur dalam braille. Michelle juga beruntung bertemu dengan guru yang siap bekerja keras untuk mendampinginya belajar.
Kesimpulan dari film dan diskusi kali ini adalah semua orang memiliki hak dan kesempatan yang sama, baik itu dalam pendidikan maupun kehidupan sehari-hari. Anak berkebutuhan khusus harus diberi dukungan dan orang-orang di sekitarnya harus bisa meningkatkan kesadaran kolektif bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang dengan disabilitas, ganda sekalipun, bisa mandiri. Mereka hanya perlu belajar dengan cara mereka sendiri.