Pendidikan Inklusif : Antara Harapan dan Realita – Kajian Eksternal SAUDC 2021

PENDIDIKAN INKLUSIF : ANTARA HARAPAN DAN REALITA

Notula Kajian Eksternal SAUDC UGM 2021

Disusun oleh Kastrat SAUDC UGM 2021

Narasumber:

  1. Sri Hartaning Sih
  2. Susilo Andi Darma, S.H., M.Hum.

Dewasa ini, isu pemenuhan hak kaum penyandang disabilitas semakin gencar dielu-elukan, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan merupakan aspek penting dalam mempersiapkan dan membentuk generasi muda bangsa agar siap memperjuangkan bangsa di masa yang akan datang, tak terkecuali penyandang disabilitas. Untuk itu, pemerintah telah berupaya mewujudkannya melalui Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang dapat berfungsi sebagai landasan hukum dan pedoman pelaksanaan Pendidikan Inklusif. Akan tetapi, adanya dasar hukum tidak menjamin terlaksananya hukum tersebut di masyarakat. Hal ini terbukti dengan masih rendahnya angka pendidikan bagi penyandang disabilitas. Badan Pusat Statistik (2020) mencatat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin menurun angka partisipasinya, jauh dibandingkan masyarakat non-disabilitas.

Hal lainnya yang sangat disayangkan adalah kebanyakan masyarakat masih awam dengan pendidikan inklusif, sehingga masih banyak penyandang disabilitas yang tidak mengambil kesempatan untuk mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Ini menunjukkan bahwa persentase terlaksananya inklusivitas di masyarakat masih rendah. Lantas, bagaimana penerapan Undang-Undang yang baik agar pendidikan inklusif dapat terwujud secara menyeluruh di semua level masyarakat? 

Berbicara mengenai pendidikan inklusif, Sri Hartaning Sih yang merupakan seorang pegiat disabilitas menyampaikan bahwa perlu adanya penyelarasan sekolah yang ramah bagi penyandang disabilitas. Seharusnya, sekolah dapat lebih inklusif sehingga sekolah khusus seperti SLB tidak memiliki citra sebagai sekolah eksklusif bagi anak penyandang disabilitas.

Sekolah-sekolah di Indonesia masih membutuhkan pengoptimalan sarana pembelajaran yang aksesibel untuk semua kalangan. Fasilitas akan sangat berpengaruh apabila masih belum ada kemudahan akses tersebut. Tidak hanya dalam aspek fisik saja, tetapi juga non fisik seperti sistem informasi. Jangan sampai fasilitas yang disediakan hanya bernilai visitable. Lagi-lagi, dibutuhkan koordinasi yang baik antar stakeholder untuk dapat mewujudkan sekolah inklusif.

Di sisi lain, peran orang tua menjadi kunci dari keberhasilan seorang anak penyandang disabilitas. Orang tua sebagai support system sebaiknya memberikan perhatian penuh kepada anak mereka. Ketika orang tua memberikan kontribusi yang optimal, anak akan merasa bahwa mereka dihargai dan didukung dalam setiap langkah yang mereka ambil, karena setiap anak memiliki hak yang sama antara satu dengan yang lain, tidak memandang apapun kekurangan anak tersebut.

Selain itu, guru dan teman juga menjadi faktor penentu perkembangan seorang anak penyandang disabilitas. Dibutuhkan kepekaan dan empati dari orang sekitar dalam menyikapi kondisi ini. Di akhir sesi, Sri berpesan kepada seluruh anak penyandang disabilitas untuk berani berproses. Apapun kondisi yang akan terjadi, tetaplah mencoba dan mengambil action.  

Pendidikan inklusif yang diberikan bagi penyandang disabilitas juga memiliki tempat di mata hukum. Dalam perspektif hukum, pendidikan inklusif berasal dari suatu hal yang eksklusif, yakni di mana ada penempatan secara tersendiri peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Penyediaan sekolah-sekolah khusus, yakni sekolah luar biasa (SLB) pada dasarnya merupakan reinkarnasi warisan kolonial yang mana pada zaman itu disebut Pendidikan Luar Biasa yang terbentuk atas dasar belum adanya pemahaman secara mendalam mengenai inklusivitas.

Selain itu, peraturan pemerintah yang mengatur pendidikan bagi penyandang disabilitas masih terpetakan dan memakai istilah “khusus” yang kemudian dalam perkembangannya ada penggunaan istilah “inklusif”. Akan tetapi, penggunaan istilah “inklusif” tidak lantas benar-benar inklusif dalam praktik lapangannya. Realita yang terjadi, sekolah-sekolah luar biasa masih menjadi dasar utama bagi penyandang disabilitas untuk menempuh pendidikan.

Berbicara mengenai pendidikan yang merupakan hak bagi semua orang, hak pendidikan bagi penyandang disabilitas sebenarnya telah jelas tertuang dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang menjunjung tinggi inklusivitas. Walaupun rancangan hukum dan sistem yang dibuat sudah mengalami perkembangan, lagi-lagi implementasi di lapangan menjadi akar gagal terciptanya pendidikan yang benar-benar inklusif untuk penyandang disabilitas. Untuk itu, perlu ditekankan adanya evaluasi dan kontrol agar kedepannya setiap peraturan yang ditetapkan mampu benar-benar dikategorisasi sebagai produk yang efektif sehingga lingkungan yang inklusif benar-benar terwujud bagi penyandang disabilitas.  

Menciptakan lingkungan yang inklusif merupakan suatu tujuan yang mempunyai banyak hambatan. Contohnya adalah mana yang lebih penting, sekolah inklusif atau sekolah luar biasa (SLB)?  Banyak yang mengadvokasi tidak perlunya SLB untuk mengedepankan inklusivitas. Sayangnya, permasalahan tidak sesederhana itu. Bagaikan inkubator, SLB mempersiapkan anak agar dapat membangun skill dan mental sebelum mereka berbaur dengan anak-anak lainnya. Menjadi berbeda bagi anak dapat menakutkan. Dari sini mereka mendapatkan komunitas, membangun mental pribadi yang kuat terlebih dahulu. SLB merupakan pilihan yang harus selalu ada.

Lalu, di sekolah umum sendiri masih ditemukan diskriminasi pada penyandang disabilitas. Pendidik banyak yang belum memberikan bantuan untuk murid dengan disabilitas. Kurangnya empati menjadi faktor yang berperan, oleh karena itu penting untuk memposisikan diri sebagai mereka yang berkebutuhan khusus agar dapat memberikan solusi dan support yang memadai. Lalu, kita sebagai sesama murid dapat turut membantu mereka dengan membangun komunikasi seperti dengan teman-teman lainnya. Tak perlu ragu atau takut, tanyalah apa yang dapat kita bantu. Selanjutnya bagi penyandang disabilitas, bangunlah komunikasi dengan sekitar. Cobalah beritahukan apa yang dialami dan bagaimana cara untuk membantu. Jika kesetaraan dibuka dan teman difabel dapat mengoptimalkan kesempatan tersebut, dapat membuka jalan bagi teman-teman penyandang disabilitas untuk menjadi apapun.

 

Tim notula :

  1. Abigail Shane
  2. Amellya Putri Kaharu
  3. Fika Miranda Putri
  4. Tsabita Umniyyatina Syahid

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top