Rekap Diskusi Kajian Eksternal 2024: Ironi Sistem Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia

Kajian eksternal 2024 telah terlaksana pada tanggal 26 Oktober lalu di Unit Layanan Disabilitas (ULD) UGM. Kajian eksternal kali ini diisi oleh Ibu Theresia Novi Poespita Candra S.Psi., M.Si, Ph.D. selaku pembicara. Mengusung tema “Ironi Sistem Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, acara ini bertujuan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan peserta mengenai berbagai permasalahan pendidikan bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

Berdasarkan diskusi yang telah berlangsung, berikut beberapa poin penting mengenai permasalahan pendidikan di Indonesia:

Pembangunan infrastruktur belum mengedepankan kebutuhan dan kepentingan kelompok marginal

Permasalahan ini terlihat dari kurangnya infrastruktur bagi penyandang disabilitas baik dalam aspek  transportasi umum maupun ruang publik. Berkaca pada beberapa negara lain, seperti Australia, lampu lalu lintas dilengkapi dengan peringatan suara untuk membantu penyandang disabilitas netra. Selain itu, di Jerman, transportasi umum seperti bus dilengkapi dengan mekanisme khusus yang memudahkan pengguna kursi roda untuk melakukan mobilisasi. Sementara itu, fasilitas penunjang bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih sangat kurang. Infrastruktur yang mendukung kegiatan penyandang disabilitas seperti yang tersedia di Australia dan Jerman belum ditemukan pada fasilitas publik di Indonesia.

Banyak sekolah yang masih bersifat materialis dan bukan humanis

Sekolah-sekolah yang ada saat ini berfokus pada reputasi dan keuntungan. Sering kali siswa dari kelompok marginal, seperti masyarakat miskin dan penyandang disabilitas, dipandang sebagai penghambat atau beban dalam upaya pengembangan institusi pendidikan. Pandangan terhadap kelompok marginal sebagai beban sangat menghambat tercapainya inklusivitas di lingkungan pendidikan.

Implementasi kebijakan pemerintah terkesan tergesa-gesa dan tidak dieksekusi dengan matang

Pemerintah cenderung gagal dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah mereka buat. Permasalahan ini disuarakan oleh para peserta diskusi ketika menceritakan pengalaman mereka terkait penyelenggaraan pendidikan bagi siswa penyandang disabilitas. Berikut beberapa pernyataan yang diutarakan peserta diskusi:

  • Siswa SD inklusi tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena kurangnya SMP inklusi di daerahnya. Pada akhirnya, mereka harus melanjutkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Persoalan muncul karena terdapat perbedaan proses belajar mengajar yang signifikan antara sekolah inklusi dengan SLB. Perbedaan tersebut akan mengganggu perkembangan akademik siswa.
  • Siswa tuli di salah satu sekolah dasar di Yogyakarta tidak dapat mengikuti pembelajaran dengan efektif karena tidak adanya pengajar yang mengerti bahasa isyarat.
  • Meskipun sekolah inklusi dapat mengakomodasi kebutuhan siswa penyandang disabilitas, tetapi sekolah inklusi belum dapat menjamin perlindungan penuh terhadap siswa penyandang disabilitas. Terdapat beberapa kasus diskriminasi dan perundungan terhadap siswa penyandang disabilitas.
  • Alienasi siswa penyandang disabilitas di lingkungan sekolah inklusi. Dalam beberapa kasus, siswa penyandang disabilitas di sekolah inklusi masih mengalami perlakuan yang berbeda dari teman sekelasnya. Kondisi ini dapat membuat siswa penyandang disabilitas merasa terasingkan dari lingkungan sosialnya.

Melalui diskusi bersama pembicara dan para peserta, terdapat beberapa langkah progresif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar lebih inklusif.

  1. Pengadaan pendidikan inklusif bukan hanya mengenai fasilitas. Pembatasan jumlah sekolah inklusi serta perubahan mindset bagi pengajar yang diikuti dengan pengembangan keterampilan dapat dilakukan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang inklusif di Indonesia.
  2. Sekolah tidak hanya sebatas tempat transfer ilmu, tetapi juga sebagai komunitas. Sekolah seharusnya dapat membangun suasana kebersamaan tanpa diskriminasi. Hal ini penting karena inklusivitas harus dimulai dari mindset sebelum menggencarkan penyediaan fasilitas.
  3. Pentingnya ruang ketiga, yaitu ruang interaksi yang setara dan aman. Ruang ini menjadi kesempatan bagi para siswa untuk menemukan kesadaran diri dan potensi terbaik. Ruang ketiga dapat meningkatkan motivasi pelajar sehingga mereka mampu mengembangkan potensi terbaik mereka. Contoh implementasi ruang ketiga di sekolah di antaranya:
  • Ruang dialog dan refleksi
  • Ruang relaksasi dan meditasi
  • Ruang imajinasi dan ekspresi
  • Ruang solidaritas dan persaudaraan
  • Ruang berkarya dan kebermaknaan

Berdasarkan hasil diskusi di atas, dapat disimpulkan bahwa pengadaan pendidikan inklusif di Indonesia masih memiliki beragam permasalahan. Oleh karena itu, adanya kesinambungan antara pembuat kebijakan dan penyelenggara pendidikan menjadi penting untuk mencapai pendidikan yang inklusif. Keterlibatan penyandang disabilitas secara langsung dalam proses pembuatan kebijakan dan implementasinya juga diperlukan guna menghindari permasalahan-permasalahan tersebut.

 

Tim Penulis: Abdul Aziz Habibullah, Nabila Putri Herviana, Najwa Shafira Arumdani

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top