Menilik Pembelajaran di Sekolah Khusus Difabel Netra Untuk Persiapan Pendidikan Inklusi

Departemen Penelitian dan Pengembangan UKM Peduli Difabel UGM

Sabtu (21/4/2018) yang lalu, UKM Peduli Difabel UGM berkesempatan untuk berkunjung ke Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (Yaketunis), Yogyakarta. Di sana kami berinteraksi dengan para siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Yaketunis dan melakukan berbagai aktivitas bersama, seperti kerja bakti, bermain sejumlah games, dan juga belajar bersama. Ketika melakukan aktivitas-aktivitas tersebut, kami juga berbincang-bincang dengan siswa-siswa MTS Yaketunis yang menyangkut beberapa hal terkait dengan pendidikan khusus, karena kami ingin mengetahui lebih lanjut mengenai beberapa topik yang menyangkut persiapan untuk mengadakan pendidikan inklusi, yaitu pendidikan yang mampu melayani siswa-siswa dari berbagai latar belakang, baik secara fisik dan mental. Beberapa topik yang kami bincangkan antara lain proses pembelajaran, minat akademik, kegiatan non-akademik dan hubungan sosial.

1.Proses pembelajaran

Mengenai proses pembelajaran di MTs Yaketunis, media pembelajaran yang digunakan adalah buku Braille, audiobook dan aplikasi text-to-speech yang tersedia pada smartphone atau komputer. Buku bacaan konvensional dari kertas disalin menggunakan aplikasi untuk dijadikan ebook dan dapat didengarkan oleh siswa menggukanan aplikasi audiobook.

Ujian pun dapat dilakukan dengan bantuan aplikasi ini, baik ujian sekolah atau ujian nasional. Ketika tidak dapat menggunakan smartphone  dalam ujian, seorang pendamping akan membacakan soal ujian dan membantu siswa mengisi lembar jawaban. Dalam hal ini ujian dengan basis komputer bisa lebih membantu siswa lebih mandiri.

Dalam penguasaan mata pelajaran, beberapa siswa MTs Yaketunis mengakui mengalami kesulitan dalam hal belajar matematika,khusunya materi geometri. Kesulitan terjadi karena proses menghitung dilakukan tanpa adanya coret-coretan seperti pada umumnya. Pada bidang geometri, siswa mengalami kesulitan karena ilmu ini banyak menggunakan kemampuan visual.

2. Minat Akademik

Dalam bidang akademik, minat mereka cukup beraneka ragam. Kebanyakan dari mereka sangat menyukai mata pelajaran agama, hal tersebut membuat mereka bersemangat untuk terus belajar dan bisa melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setelah lulus nanti.

Tidak hanya pelajaran agama yang mereka gemari beberapa dari mereka juga suka dengan bidang seni maka dari itu salah satu dari mereka ada yang berkeinginan masuk di sekolah seni yaitu Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta.

Karena kesulitan belajar matematika, banyak dari mereka yang tidak menyukai matematika. Selain metematika bebrapa dari mereka juga tidak menyukai pelajaran bahasa inggris, yang dapat disebabkan karena ejaan bahasa inggris yang berbeda dari bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.

Seperti banyak siswa seumuran mereka, studi di perguruan tinggi merupakan hal yang masih belum terlalu dipikirkan. Mereka belum mengetahui jurusan apa yang diinginkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi pada suatu saat nanti.

3. Kegiatan Non-Akademik

MTs Yaketunis juga menawarkan beberapa kegiatan ekstrakurikuler, seperti memasak, seni musik, olahraga, dan lain lain. Salah satu ekstrakurikuler yang cukup unik adalah adanya ekstrakurikuler pijat.[1] Ekstrakurikuler ini ada karena stereotipe difabel netra sebagai seorang tukang pijat. Untuk beberapa siswa yang merasa hobi mereka tidak tersalurkan lewat ekstrakurikuler yang ditawarkan, mereka biasanya belajar sendiri di luar sekolah. Seperti contohnya ada seorang siswa yang tertarik dengan seni jathilan atau kuda lumping, maka dia suka mendengarkan jathilan lewat YouTube. Ada pula yang suka dengan musik dan ia sering bermain musik dengan teman-temannya di luar sekolah.

Sumber daya manusia di MTs ini masih kurang, terutama dalam hal tenaga pengajar. Selain itu kebersihan lingkungan di MTs tersebut juga masih kurang karena kurangnya tenaga kebersihan.

4. Hubungan Sosial

Ketika kami disana, mereka terlihat sangat akrab dengan teman-teman mereka. Mereka juga mengikuti kegiatan bersama kami secara antusias. Beberapa dari mereka bercerita kalau mereka juga akrab dengan teman-teman di luar sekolah.

Walau beberapa siswa terlihat memiliki kepercayaan diri yang tinggi, ada juga yang mengaku masih minder bersosialisasi di luar sekolah. Bahkan ada seorang siswa yang mengakui bahwa mereka memilih sekolah di MTs Yaketunis karena pernah di-bully ketika masih di sekolah umum. Sangat disayangkan bahwa ternyata diskriminasi difabel terjadi ketika seorang anak hanya ingin menuntut ilmu.

Kesimpulan

Sarana dan prasarana untuk pendidikan khusus tidak jauh berbeda dengan yang ada di pendidikan umum. Media pembelajaran pun tidak susah untuk disiapkan. Namun untuk mewujudkan adanya pendidikan inklusi juga perlu adanya sosialisasi mengenai difabel sejak kecil, karena penghambat terbesar pendidikan inklusi adalah masih maraknya diskriminasi terhadap difabel. Bila diskriminasi ini berlanjut terus menerus, siswa-siswa difabel yang ingin bersekolah tidak akan merasa nyaman bersekolah di sekolah umum.

Setelah sosialisasi, sekolah umum juga perlu meninjau bagaimana kesiapan dalam menerima siswa difabel, baik dari segi akademis (pengajar, alat pembelajaran, buku) dan fasilitas sekolah yang mampu mendukung pembelajaran yang inklusif.

[1] Kardono. (2013, Januari 9). Tunanetra dan Profesi Pijat. Retrieved from Kartunet: https://www.kartunet.com/tunanetra-dan-profesi-pijat-139/

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top