Proses Memaknai

Sumber Gambar : http://www.freepik.com

Di era millenial ini, penipuan agaknya marak terjadi. Penyebaran berita hoax, pengakuan kepemilikan yang bukan haknya, sampai pada problem pengemis dengan berbagai macam topik. Adapun hal yang sering melekat diantara pengemis adalah berpura-pura memiliki kekurangan fisik untuk dikasihani atau mendapatkan simpati dari orang lain. Banyak pula pengemis yang mengaku sebagai difabel seperti buta, tuli, dan sebagainya dengan dalih membutuhkan biaya melanjutkan sekolah ataupun untuk membeli sesuap nasi.

Hal seperti ini tentunya cukup meresahkan penyandang difabel karena stereotip tentang difabel yang butuh bantuan dan butuh belas kasih akan semakin berkembang berdasarkan fenomena pengemis tersebut. Misalnya, dalam artikel yang dimuat dalam Kompas.com yang berjudul “Dua Pengemis Pura-pura Buta di Cakung, 4 Hari Dapat Rp 1,2 Juta” disebutkan bahwa dua orang pengemis yang berpura-pura buta mendapatkan penghasilan sebesar 12 juta per-4 hari. Kemudian, dalam artikel bangkapos.com dalam judul “Adriana Pengemis Ngesot, Pura-pura Cacat ini Penghasilannya Rp 4,5 Juta per Bulan” diberitakan mengenai tertangkapnya seorang wanita yang mengemis dengan cara ngesot agar dikasihani. Beberapa contoh di atas memperlihatkan bahwa sosialisasi tentang pemahaman untuk kaum difabel masih kurang dimaknai secara mendalam oleh masyarakat karena ada beberapa oknum yang masih saja memanfaatkan kondisi “difabel” untuk melakukan hal yang membuat orang lain iba.

Dari beberapa fenomena tersebut, perlu dilakukan tindakan yang membuat para oknum tersebut jera atas perbuatannya. Disamping merugikan orang lain, mereka juga merugikan kaum difabel karena nantinya akan muncul anggapan bahwa kaum difabel butuh belas kasihan yang extra. Padahal, pada dasarnya kaum difabel hanya butuh diberi perlakuan biasa dan dianggap setara. Mereka tentunya ingin mengembangkan potensi dan kemampuan yang mereka miliki untuk melakukan berbagai macam kegiatan yang dilakukan kaum non-difabel. Banyak pula contoh prestasi yang ditorehkan oleh penyandang difabel yang pada dasarnya merupakan sebuah cambukan bagi kita yang selama ini masih saja mengeluh akan keadaan dan kondisi yang kita dapatkan. Sungguh ironi bila “difabel” digunakan untuk memperkaya diri dengan menengadah tangan dan meminta belas kasihan.

Sekarang bukan lagi masa dimana kita menggali kekurangan orang lain, menyebar berita tidak benar, ataupun meminta belas kasih pada seonggok makhluk. Harusnya kita sendiri pun sadar bahwa apapun hal yang kita hadapi, hambatan yang kita lalui, ataupun kesulitan yang kita miliki bukanlah beban yang melulu disesali. Kita, difabel ataupun non-difabel adalah sama, serata, serasa, sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Memberantas oknum yang memanfaatkan penyandang disabilitas, serta memberikan sosialisasi tentang pentingnya pemaknaan dan cara penanganan kaum difabel perlu ditekankan kembali agar nantinya kita mengerti tentang kesetaraan yang semestinya terjadi, tentang perbedaan yang semestinya mewarnai, dan tentang kekurangan yang sejatinya melengkapi.

Author : Nur Alifah (Filsafat 2017) – Div. Kastrat

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top