PERAN DIFABEL DALAM DUNIA KERJA

Bekerja menjadi hal yang esensial bagi manusia. Dengan bekerja manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan dan bekerja berlaku bagi setiap manusia, tidak memandang golongan, ras, suku, bangsa, usia, termasuk kondisi fisik dan psikis. Salah satu kelompok yang membutuhkan pekerjaan adalah penyandang disabilitas.

Definisi penyandang disabilitas menurut Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Adanya perbedaan cara berkegiatan antara penyandang disabilitas dengan non disabilitas yang tidak disertai dengan lingkungan yang inklusif maka akan mempengaruhi performa penyandang disabilitas dalam bekerja. Hal tersebut pada akhirnya akan membuat penyandang disabilitas kurang dilibatkan dalam bidang pekerjaan. Berkurang atau hilangnya keterlibatan penyandang disabilitas dalam bekerja menjadi masalah yang cukup serius karena nantinya meningkatkan kerentanan dan berpengaruh besar terhadap kesejahteraan mereka dalam mewujudkan kehidupan yang layak.

Berdasarkan pada Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2018, jumlah penyandang disabilitas yang tergolong dalam usia kerja sebanyak 21.93 juta jiwa, dimana 51.18% merupakan angkatan kerja. Dari total tersebut yang masih menganggur sebanyak 414,222 orang.  Padahal di dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah telah menetapkan bahwa setiap badan atau lembaga pemerintah wajib mempekerjakan sedikitnya 2% penyandang disabilitas dari total jumlah pekerjanya. Selain kewajiban bagi instansi pemerintah, di dalam undang undang tersebut juga menetapkan kewajiban bagi perusahaan swasta untuk mempekerjakan paling sedikit 1% dari total pekerjanya. Sejauh ini meskipun pemerintah telah mewajibkan kuota bagi penyandang disabilitas untuk bekerja di sebuah instansi, namun implementasi dari kebijakan tersebut masih jauh dari yang diharapkan, kerap kali kuota bekerja bagi difabel tidak terpenuhi.

Salah satu aspek yang berperan cukup penting dalam implementasi kebijakan tersebut adalah kualitas atau kompetensi dari penyandang disabilitas itu sendiri. Pemberi kerja dalam hal ini instansi pemerintah maupun swasta akan menerima penyandang disabilitas asalkan memiliki kompetensi seperti yang disyaratkan. Namun sejauh ini kompetensi yang disyaratkan masih bersifat kompleks dan luas yang tidak bisa dimiliki oleh semua penyandang disabilitas.

Selain kompetensi yang disyaratkan bersifat kompleks sehingga tidak sesuai dengan kondisi difabel, , masih terdapat juga perusahaan yang belum memberikan kuota bekerja bagi difabel. Hal tersbeut terjadi akibat masih rendahnya pemahaman mereka terkait difabel serta anggapan bahwa produktivitas difabel itu rendah.

Hambatan lain dalam implementasi kebijakan tersebut adalah adanya stigma bahwa dfabel termasuk ke dalam kelompok yang tidak sehat secara jasmani dan rohami. Sehat menurut Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinka setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Padahal sejatinya difabel tetap produktif meskipun dengan cara berkegiatan yang sedikit berbeda dengan non difabel.

Pendidikan dalam Mempersiapkan Difabel di Dunia Kerja

(Sumber Foto : unsplash.com )

Pendidikan menjadi aspek yang berperan penting dalam mepersiapkan difabel untuk terjun ke dunia kerja. Salah satunya adalah peran pendidik dalam menyediakan akomodasi, modifikasi, dan adaptasi. Modifikasi dan adaptasi merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh  guru dnegan melakukan penyesuaian terhadap kondisi anak didiknya namun tetap memperhatikan kurikulum yang berlaku, baik modifikasi  yang terkait dengan tujuan, proses pembelajatan, media, maupun penilaian. Sehingga setiap kondisi anak didik dapat terakomodasi dengan layak seperti yang diamanatkan dalam peraturan perundang undangan. Bagi seorang guru yang mendampingi difabel sangat tidak diperkenannkan untuk mematahkan semangat dari anak tersebut. Seorang guru haruslah mampu memberikan pengarahan dan membiarkan peserta didik difabel itu memahaminya sendiri.

Selain peran guru dalam mempersiapkan difabel untuk terjun ke dunia kerja. Bidang pendidikan juga memberikan kesempatan bagi difabel untuk menjadi seorang pendidik bagi peserta didik non difabel. Hal utama yang harus dipersiapkan ketika seorang difabel ingin menjadi guru adalah mental yang kuat karena nantinya akan selalu membahas mengenai dirinya sendiri. Seorang difabel yang akan menjadi guru diharapkan untuk memiliki bekal yang cukup atau setara dengan tenaga pendidik lainnya serta perlunya citra diri yang kuat, serta mampu menggerakkan dan menginspirasi bagi peserta didiknya.

Hambatan yang sering dihadapi oleh sorang guru difabel adalah penempatan yang kurang sesuai dengan kondisinya, penerimaan dari lingkungan yang kurang baik, serta budaya kerja yang tidak dilandasi dengan gotong royomg.

Dalam rangka pemenuhan hak bekerja sebagai ASN bagi difabel, perlunya upaya dari pemerintah untuk memberikan jalur khusus atau afirmasi sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama. Tanpa adanya jalur khusus maka difabel akan cenderung tersisih dari persaingan. Selain kesempatan kerja sebagai ASN, alternatif lain yang sering diandalkan sebagai penyedia kerja bagi difabel adalah sektor informal baik dari sektor perdagangan, transportasi, serta jasa maupun sektor formal lainnya. Salah satu penyedia kerja bagi difabel di Jogja adalah Cupable Coffee.

( Sumber Foto : http://www.thejakartapost.com )

Cupable coffee didirikan oleh Pak Banu pada tahun 2017. Beliau mengajak Yakkum untuk mendrikan sebuah kafe yang bisa menjadi wadah bagi difabel untuk bekerja. Konsep awalnya adalah ingin mendirikan kafe yang tidak hanya menyediakan makan dann minum tetapi juga tempat untuk promosi kepada masyarakat sehingga lebih inklusif. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan pelatihan menjadi barista bagi difabel dan kelompok marjinal lainnya. Saat ini jumlah barista di cupable ada 3 yang mana 2 diantaranya merupakan difabel daksa.

Pelatihan menjadi barista dilakukan selama tiga hingga empat bulan dimana pada tiap sesi pelatihan melibatkan lima hingga enam orang peserta difabel dan kelompok marjinal.Pelatihan dimulai dari hulu ke hilir. Dalam pelatihan tersebut Cupable Coffee juga bekerja sama dengan komunitas yang berkompeten di bidang kopi. Harapan dari adanya pelatihan ini adalah peserta tersebut setelah lulus dari pelatihan dapat terserap oleh lapangan kerja di kafe yang tersebar di Jogja.  Selain itu dengan adanya pelatihan menjadi barista ini juga menjadi salah satu upaya dalam memberikan alternatif bagi difabel untuk bekerja di bidang yang modern dengan keterampilan yang kekinian, karena selama ini di Yakkum masih mengandalkan pada pelatihan keterampilan hal hal yang bersifat konvensional seperti menjahit dan membatik.

Segmentasi pasar dari Cupable Coffee menyasar pada teman – teman difabel yang kebetulan datang ke yakkum. Untuk memberikan ruang yang inklusif bagi difabel maka kafe ini mengedepankan aspek inklusivitas. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan menyediakan sarana yang memadai bagi difabel. Seperti  lebar pintu yang lebih dari 90 cm, ruangan yang tidak terlalu sempit sehingga difabel daksa yang menggunakan kursi roda tetap bisa memutar,  meja bar yang tidak terlalu tinggi, serta toilet yang luas.

Respon dari masyarakat akan hadirnya Cupable Coffee adalah menyemabut baik. Terlebih lagi Cupable Coffee juga menyediakan ruang untuk diskusi terkait dengan isu difabel. Meskipun begitu, pada awal hadirnnya Cupable Coffee ini mendapatkan beberapa komplain yang disebabkan oleh lamanya pelayanan dibandingkan dengan barista yang lain. Untuk mengatasi kendala tersebut maka pihak pengelola akhirnya mengatur strategi dengan menyediakan barista difabel dan non difabel pada shift yang sama. Dari strategi tersebut diharapkan barista non difabel dan difabel dapat bekerja sama untuk meningkatkan kualitas pelayanan.

Harapan dari Cupable Coffee kepada non  difabel adalah masyarakat mampu berpikir luas bahwa difabel punya kesempatan yang sama, bahkan ketika difabel diberi kesempatan bekerja pun mereka tetap bisa bekerja selayaknya non difabel. Sehingga diharapkan pemberi kerja mau membuka lapangan pekerjaan bagi difabel.

Kesimpulan  yang didapat dari kajian eksternal dengan tema “Peran Difabel dalam Dunia Kerja” adalah lapangan pekerjaan bagi difabel masih ada dan masih tersedia banyak cara untuk memungkinkan difabel untuk berkontribusi dalam perekonomian baik untuk dirinya sendiri maupun untuk wilayah yang lebih luas.

[REPORT KEGIATAN] – KAJIAN EKSTERNAL

Moderator        : Puspa Aisyiyah D A

Pembicara 1     : Dr. Subagya, M.Si,  Dosen Program Studi Pendidikan Luar Biasa UNS

Pembicara 2     : Veny Septiana, Manajer Cupable Coffee

Author              : Reyhan, Lenna

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top