Penelitian Sosial 2021: Edukasi Kesehatan Reproduksi dan Seksual pada Remaja Autisme

Salam kesetaraan!

Penelitian Sosial merupakan program kerja Departemen Penelitian dan Pengembangan UKM Peduli Difabel UGM yang telah rutin diadakan selama 3 tahun terakhir.  Penelitian Sosial tahun ini kembali diadakan secara daring karena kondisi pandemi Covid-19 yang belum membaik. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat teman-teman departemen Litbang dalam mempersiapkan acara ini. Tahun ini, Penelitian Sosial mengusung tema ‘Edukasi Kesehatan Reproduksi dan Seksual pada Remaja Autisme’. Tema ini dipilih untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai pendidikan reproduksi untuk remaja autisme serta merupakan upaya kami untuk mencegah kekerasan seksual pada difabel yang masih sering terjadi. Terdapat dua narasumber yang hadir pada Penelitian Sosial 2021, yaitu Ibu Murni Prihatin selaku orang tua dari dewasa muda dengan autisme dan Ibu Sri Hartini, S.Kep., Ns., M.Kes., Ph.D. yang merupakan dosen Ilmu Keperawatan Departemen Keperawatan Anak dan Maternitas FKKMK UGM. 

Pendidikan seksual dan reproduksi merupakan hal yang sangat penting untuk diberikan kepada anak-anak sejak dini. Namun, banyak orang tua yang menganggap pembahasan mengenai pendidikan seksual merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan dengan anak mereka. Padahal melalui pembicaraan dan diskusi yang dilakukan, anak akan menangkap hal-hal penting mengenai seksualitas dan reproduksi, mulai dari rasa tanggung jawab akan kesehatan seksualnya sendiri hingga mencegah kemungkinan terjadinya pelecehan seksual yang tidak diinginkan.

Pemberian pemahaman mengenai pendidikan seksual dan reproduksi juga perlu diberikan kepada anak-anak penyandang autisme. Hal ini dikarenakan perkembangan organ seksual yang dialami oleh remaja disabilitas sama seperti perkembangan organ seksual remaja pada umumnya. Selain itu, remaja autisme mungkin tidak banyak mengetahui mengenai seksualitas dan reproduksi karena akses yang terbatas dari lingkungannya. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa orang tua perlu memberikan pendidikan seksual dan reproduksi yang memadai kepada anak. 

 Pada masa pubertas, baik remaja normal maupun remaja autisme mengalami perubahan fisik, emosional, sosial, dan perkembangan seksual yang hampir sama. Perkembangan organ seks sekunder dan organ seks primer, hal ini juga terjadi pada remaja disabilitas. Pada fase pubertas ini terjadi peningkatan hormon yang menyebabkan terjadinya dorongan seksual.

Pada anak remaja normal dengan anak disabilitas apapun memiliki perkembangan seksual yang sama dengan ciri-ciri pertumbuhan organ seksual sekunder dan primer (bertambahnya ukuran uterus dan rahim) serta terjadinya peningkatan hormon estrogen yang memicu dorongan seksual. 

Remaja autis memiliki perbedaan dalam menampakkan ekspresi seksual dan perilaku seksual karena kurangnya kontrol diri (Nugraheni dan Tsaniyah, 2020). Terdapat suatu keterbatasan yang dimiliki remaja autis sehingga remaja autis dapat menampakkan perilaku seksual yang banyak dianggap masyarakat sebagai penyimpangan perilaku seksual, contohnya tiba-tiba membuka pakaian, masturbasi di tempat umum, menggosok alat kelamin mereka, dan memegang bagian tubuh orang lain tanpa izin. Hal ini dapat memicu perasaan tidak nyaman akibat ketidakpahaman dalam menghadapi masa pubertas sehingga menimbulkan perilaku baru pada remaja autisme seperti mudah marah, emosi tidak terkontrol, melawan, bingung, dan aktivitas seksual yang tidak diharapkan. 

Pendidikan seks yang tidak tepat atau terlambat dapat menyebabkan remaja autis mengalami masa pubertas yang menyimpang dari remaja lainnya seperti adanya manipulasi seks, emosi, dan minat yang tidak stabil pada lawan jenis (Indrawati dan Wahyudi, 2017).  Minimnya pengetahuan seks dari lingkungan pergaulannya menjadikan remaja autisme berpotensi untuk menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual dari orang lain. 

Perbedaan edukasi seksual dan reproduksi pada remaja autis dengan remaja normal terletak pada cara dan metodenya. Pendidikan seks dan seksualitas yang diberikan kepada anak autisme dilakukan secara lebih inklusif dan dengan komunikasi dua arah yang lebih intim disertai gambar, alat peraga atau animasi, sebab remaja autisme lebih suka belajar secara visual. Hal tersebut perlu dilakukan sebab anak dengan autisme memiliki keterbatasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang sekitarnya akibat kerusakan saraf yang mengganggu perkembangan anak. 

Pendidikan seks untuk anak autis menurut Sullivan (2008) meliputi beberapa hal yaitu bagian tubuh dan fungsinya, perkembangan fisik, kesehatan diri dan merawat diri, kesehatan, perilaku sosial dan seksual yang tepat, masalah privasi, pemahaman emosi dan nafsu,citra diri, pencegahan kejahatan seksual; keingintahuan, serta hubungan interpersonal.

Hal yang membedakan pubertas pada remaja autisme dan remaja normal adalah bagaimana anak dengan autisme merespon perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Perubahan yang terjadi menimbulkan ketidaknyamanan dan perubahan sifat pada anak autisme. Ketidaktahuan anak remaja autisme terhadap perubahan tersebut yang menyebabkan terjadi emosi yang tidak terkontrol, perilaku yang dapat menimbulkan resiko dan penyimpangan seksual (Retnawati, 2017). Perbedaan respon terhadap perubahan tubuh atau pubertas pada anak remaja dengan autisme yang membedakan cara pemberian pendidikan seks dan seksualitas untuk menghindari terjadinya perilaku seksual negatif, penyimpangan seksual dan menjadi upaya preventif dalam mencegah anak remaja autisme menjadi korban pelecehan seksual.

Pendidikan seks dan seksualitas yang diberikan pada anak autisme dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan pemahaman anak autisme terhadap kondisi tubuhnya juga dilakukan dengan komunikasi dua arah disertai alat peraga sebagai media pembelajaran seperti gambar organ tubuh, dan perlengkapan pada masa menstruasi (Retnawati, 2017). 

Dalam memberikan pendidikan seks pada anak sampai dengan remaja autis, pengawasan dan kerjasama dengan orang tua sangatlah penting. Dengan kemampuan menyerap dan merespons yang kurang baik, perlu dilakukan pengulangan secara terus-menerus dalam edukasi seksual dan reproduksi kepada anak autis. Maka dari itu, selain pengawasan, orang tua juga perlu memberi contoh, seperti misalnya dengan selalu menggunakan handuk ketika keluar dari kamar mandi atau menepis orang apabila ada yang ingin menyentuh bagian-bagian tubuh tertentu. Ajaran-ajaran tersebut perlu diulang secara terus-menerus agar terbiasa dan dapat mengerti oleh anak.

Kasus kekerasan seksual pada anak dengan autisme sering kali susah untuk diantisipasi. Hal tersebut dikarenakan sulitnya komunikasi yang terjadi pada anak penyandang autisme. Untuk mencegah anak dengan autisme terhadap kekerasan seksual ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama adalah pahami tanda-tandanya: respon trauma dan tanda-tanda pelecehan fisik dan perilaku terhadap individu dengan autis adalah sama dengan anak-anak pada umumnya. Untuk beberapa individu dengan autis perubahan mungkin lebih sulit dikaitkan dengan pelecehan seksual. 

Kedua ajarkan tentang privasi, batasan, sentuhan aman, persetujuan dan berkata ‘tidak’. Ketiga mengajar perkembangan seksual yang sesuai dengan usia perkembangan anak dengan seksual yang sehat. Orangtua mungkin takut bahwa berbicara tentang seksual akan mendorong anak-anak mereka untuk bereksperimen secara seksual. Namun anak-anak dengan autis yang memiliki orangtua yang terlibat dan mengajarkan secara konsisten tentang seksual yang sehat akan lebih siap melindungi diri anak-anak dari perilaku kekerasan seksual. Keempat adalah memberikan kosa kata yang cukup tentang seksual agar anak-anak mengetahui tentang penyimpangan dan pelecehan seksual. Ajari mereka dengan komunikasi yang signifikan, alternatif dan augmentatif. 

Kelima jangan menganggap perubahan perilaku karena kekhususannya. Karena perilaku mereka adalah bentuk komunikasi sehingga perilaku yang tidak biasanya mungkin akibat dari perilaku pelecehan seksual. Yang terakhir adalah melaporkan jika terjadi kekerasan seksual dan mendapatkan perlindungan. Sebagai contoh mengajarkan anak-anak dengan autis yakni saat umur 2 tahun ia harus bisa memakai celananya sendiri. Kemudian berlatih untuk buang air kecil di kamar mandi, tidak boleh di luar. Mengajarkan anak dengan bahasa isyarat juga penting karena dengan begitu anak tahu mana yang tidak boleh. Bicara tidak harus verbal tetapi yang penting adalah melakukan komunikasi.

Penting untuk mengajarkan kepada anak-anak dengan autis kata-kata yang abstrak seperti malu, sopan, tertib dan teratur. Mereka harus bisa membedakan aktivitas mana saja yang bisa dilakukan di ranah publik dan pribadi, kemudian melakukan latihan-latihan dengan visualisasi batasan publik dan pribadi serta social story. Mereka juga harus paham bagaimana menjaga kebersihan vagina dan penis, cara menggunakan pembalut saat menstruasi. Mereka juga diajarkan tentang konsep tempat sepi misalnya jalanan yang sepi, rumah kosong atau sepi sehingga bisa menghindarinya. Serta membatasi hubungan dengan orang lain misalnya mampu membedakan orang yang dikenal dan tidak dikenal, tidak melihat dan memperlihatkan bagian pribadi kepada orang lain, dengan penanganan terkait lingkaran sosial dan berbicara seukuran rentang tangan.

Ada beberapa hal yang perlu diajarkan kepada anak-anak berkebutuhan khusus seperti misalnya memberikan pemahaman sejak dini  kepada anak terkait bagian-bagian tubuh yang tidak boleh dilihat, dan disentuh oleh sembarang orang yakni bagian mulut, dada, kemaluan, dan pantat. Memberikan pemahaman sejak dini kepada anak terkait siapa saja orang yang boleh menyentuh bagian tubuh anak juga meruapakan hal yang penting, dalam hal ini yakni ayah atau ibu ketika memandikan anak, dan membersihkan sehabis buang air, juga dokter ketika memeriksa anak namun juga perlu didampingi oleh orangtua.

Cara yang selanjutnya adalah dengan mengajarkan anak untuk mengatakan ‘tidak’ pada saat orang lain menyentuh bagian pribadi anak, menyuruh atau meminta anak untuk membuka baju didepanya, dan ketika orang lain menunjukkan bagian pribadinya, serta menunjukkan bagian pribadi didepan anak atau menunjukkan film/foto telanjang. Untuk anak berkebutuhan khusus sangat memerlukan pendampingan dan kolaborasi antara orang tua dan guru dalam mengajarkan pendidikan seksual tersebut.

Pentingnya edukasi seksual bagi remaja disabilitas tentu melibatkan peran serta orang tua. Salah satu peran orang tua yakni pendampingan, pendampingan dilakukan sejak persiapan melewati masa pubertas sehingga bisa menyalurkan dorongan seksual ke arah yang positif atau tidak terjadi penyimpangan. Pendampingan yang bisa dilakukan adalah mendeteksi masa awal pubertas anak, edukasi menggunakan metode yang beragam, dan dilakukan secara berulang-ulang. 

Ada beberapa metode yang bisa digunakan oleh orang tua, yaitu secara visual atau gambar, kemudian ada metode demonstrasi, dan ada metode komunikasi secara langsung. Metode secara visual atau gambar akan lebih mudah diterima oleh anak autis karena anak autis lebih suka berpikir dengan visual. Misalnya, ketika anak itu sudah menunjukkan rasa ketertarikan pada lawan jenis, orang tua harus mengajarkan perbedaan sentuhan kasih sayang dan sentuhan kekerasan seksual. Apabila orang tua tidak bisa mendampingi 24 jam, harus ada pembiasaan di awal sehingga untuk selanjutnya anak sudah bisa mandiri dan hanya perlu dipantau saja. Edukasi oleh orang tua tidak bisa dilakukan hanya sekali tetapi harus berulang agar anak bisa memiliki pemahaman secara praktis dengan metode yang digunakan. 

Di sisi lain, terdapat beberapa tantangan dalam mengajarkan pendidikan seksual dan reproduksi kepada anak autis. Yang pertama adalah kesabaran orang tua dalam proses pengajarannya. Pada praktiknya, dibutuhkan tenaga yang lebih besar dan mental yang lebih kuat dari biasanya dalam memberikan pendidikan seksual karena anak yang berkebutuhan khusus ini membutuhkan metode khusus yang dilakukan secara berulang-ulang. Selain itu, para orang tua juga harus memiliki materi dan cara yang beragam sehingga sang anak bisa paham apa yang diajarkan kepadanya. 

 

Daftar Pustaka

Jurnal

Aji Setya. 2017. Aplikasi Pembelajaran Pendidikan Seksualitas untuk Anak Autis. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 

Indrawati, H. dan Wahyudi, A. 2017. Makna Pubertas Remaja Autis Bagi Orangtua “Kajian Fenomenologi”. Dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Luar Biasa Vol. 4 No. 2 hal. 111-117. 

Nugraheni S. dan Tsaniyah, N. 2020. Urgensi Pendidikan Seks Pada Remaja Autisme. Dalam Journal of Islamic Education Vol. 3 No. 1 hal. 85-102.

Retnawati, L. 2017. Strategi pembelajaran pendidikan seksual untuk remaja autis di SMPLB. Dalam Jurnal Pendidikan Khusus, 9(3).

 

Website

Anak Perempuan dengan Autis Berisiko Alami Kekerasan Seksual | Solider News. Solider.id. Diakses 3 Agustus 2021, dari https://www.solider.id/baca/6169-anak-perempuan-autis-berisiko-alami-kekerasan-seksual.

DIY, A. 2016. Pusat Layanan Autis. Pusatlayananautisdiy.com. Diakses 3 Agustus 2021, dari

http://www.pusatlayananautisdiy.com/index.php/blog/articles/5/6.

Memberi Edukasi Seks untuk Anak, Bagaimana Caranya?. Hello Sehat. Diakses 3 Agustus 2021, dari https://hellosehat.com/parenting/remaja/tumbuh-kembang-remaja/edukasi-seks-anak/.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top