Serial Avatar: The Last Airbender merupakan salah satu animasi populer dari Nickelodeon di tahun 2000-an. Selain jalan ceritanya yang tidak bertele-tele dan penuh pesan, worldbuilding pada serial ini dapat dikatakan cukup konsisten dari awal sampai akhir. Serial ini menceritakan tentang dunia yang diisi oleh para pengendali dari empat elemen, yakni air, tanah, api, dan udara. Avatar (Aang), sebagai jembatan antara dunia nyata dan dunia roh dianugerahi kemampuan untuk menguasai keempat elemen agar dunia menjadi seimbang. Inti serial ini adalah perjalanan Aang dalam menemukan guru pengendali elemen lain untuk mengalahkan Negara Api. Dalam perjalanannya, Aang ditemani oleh Katara dan Sokka dari Suku Air, Toph dari Kerajaan Tanah, dan Zuko dari Negara Api.
Salah satu tokoh yang akan dibahas dari serial ini adalah Toph Beifong, teman sekaligus guru pengendali tanah Aang. Toph Beifong digambarkan sebagai seorang anak perempuan difabel netra yang berbakat. Walaupun tidak dapat melihat sejak lahir, Toph adalah seorang “Earthbender Prodigy” yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Seperti di dunia nyata, seorang difabel netra biasanya memiliki indra lain yang lebih sensitif daripada orang awas (Setiawan dan Kristanto, 2016). Oleh karena itu, dijelaskan di animasi ini bahwa ia memiliki kemampuan “Seismic Sense” untuk “melihat” objek yang berada di atas tanah, konsep ini mirip dengan konsep ekolokasi dan tongkat yang biasanya digunakan oleh para difabel netra di dunia nyata. Selain itu, Toph juga digambarkan sebagai perempuan yang blak-blakan, penuh sarkasme, dan percaya diri. Terdapat beberapa percakapan antara Toph dengan teman-temannya yang mengindikasikan bahwa Toph tidak pernah malu ataupun merasa ketidakmampuannya dalam melihat menjadi kekurangan, bahkan kadang ia malah cenderung santai dan hanya menanggapinya dengan sarkasme. Contohnya seperti pada Book two: Earth di episode “The Sea Serpent and the Drill” saat mereka memasuki bawah tanah, Sokka berkata, “Sangat gelap di sini, aku tidak bisa melihat apapun!” lalu Toph menimpali dengan sarkasmenya, “Oh, seramnya?”.
Terdapat pula karakter pendukung yang juga seorang difabel dalam serial ini, yakni Teo. Teo merupakan karakter difabel daksa yang ditemui Aang di Kuil Angin Utara, ia merepresentasikan teman-teman difabel yang menggunakan kursi roda. Representasi yang ditampilkan dalam karakter Teo seperti memberikan pesan bahwa tidak ada yang tidak mungkin asal memiliki keinginan yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Teo dapat terbang bahkan dengan menggunakan kursi rodanya. Karakter Teo juga tidak dapat dilepaskan dari peran suportif ayahnya yang siap mendukung kebutuhan anaknya sebagai pengguna kursi roda. Ayahnya merupakan seorang mechanist yang membuat lingkungan hidup inklusif untuk Teo dan warga pengungsi lainnya. Dalam Book one: Water episode “The Northern Air Temple” dapat dilihat bagaimana ayah Teo menciptakan lingkungan hidup inklusif yang bisa dijangkau siapapun (terutama para pengungsi) di bekas Kuil Angin Utara walaupun lokasi kuil tersebut cukup ekstrim.
Selain Toph dan Teo yang berada di pihak protagonis, terdapat pula karakter antagonis yang menggunakan tangan dan kaki prostetik dan menjadi salah satu lawan yang sulit ditaklukan oleh Aang sendiri. Karakter itu tidak lain adalah Combustion Man yang memiliki kekuatan penghancur. Walaupun digambarkan sebagai sosok jahat yang ingin menghabisi Avatar, Combustion Man memiliki karakter teguh pendirian dan tidak akan berhenti hingga tugasnya selesai.
Ketiga karakter tersebut merupakan karakter yang sangat menonjol dalam serial animasi Avatar: The Last Airbender. Tidak seperti kartun-kartun lain semasanya yang cenderung memunculkan karakter difabel sebagai lelucon, karakter-karakter dalam kartun ini memiliki peran besar dan bahkan sangat amat berperan dalam jalan ceritanya. Tanpa Toph mungkin Aang akan kesulitan dalam mempelajari pengendalian tanah, tanpa Teo mungkin Tim Avatar tidak akan pernah tau siapa yang menyuplai senjata untuk Negara Api, dan tanpa Combustion Man mungkin Aang tidak akan terpacu untuk lebih waspada dan belajar pengendalian elemen lain lebih cepat. Kehadiran mereka bertiga dapat dilihat sebagai representasi teman-teman difabel yang sangat baik dan dapat dikagumi oleh anak-anak.
Referensi:
Setiawan, M.T., dan Kristanto, L. (2016). Pusat Komunitas Tunanetra di Surabaya. Jurnal eDimensi Arsitektur. 4(2), 321-328.
Penulis: Nail Qistan Insani