The Three Bodies: Memahami Disabilitas dalam Konteks Individu, Sosial, dan Politik

“Disability is located not in people’s bodies, but in society”

 

Pernahkah kamu mendengar a tau membaca konsep The Three Bodies? Ternyata, disabilitas dalam kaitannya dengan tubuh dan kehidupan sosial manusia dapat dipelajari dengan menggunakan konsep ini, loh! Yuk, ketahui lebih jauh tentang konsep The Three Bodies dalam memahami disabilitas!

Istilah disabilitas biasanya dikaitkan dengan kondisi atau bagian tubuh manusia, seperti kondisi pendengaran, penglihatan, gerak, mental, dan kognitif. Namun, ketika berbicara tentang disabilitas, kita juga perlu memahami bagaimana disabilitas itu sendiri dikonstruksi oleh masyarakat. Salah satu konsep yang dapat menjelaskan hal itu ialah The Three Bodies. Nancy Scheper-Hughes dan Margaret M. Lock (1987) dalam tulisan berjudul The Mindful Body: A Prolegomenon to Future Work in Medical Anthropology memperkenalkan konsep The Three Bodies yang terdiri atas individual atau phenomenology body (dimensi individu atau personal), social body (dimensi sosial atau interpersonal), dan body politics (dimensi politik atau institusional). 

(Sumber: Maybee, 2019)

Lalu, bagaimana konsep tersebut dapat membantu pemahaman kita tentang disabilitas, ya? Langsung saja, berikut merupakan pemaknaan disabilitas berdasarkan konteks individu, sosial, dan politik berdasarkan konsep The Three Bodies.

1.  Individual/Phenomenology Body

Setiap manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda terhadap tubuh mereka. Tubuh dialami dan didefinisikan dengan cara-cara yang dipengaruhi oleh konsep, bahasa, kepercayaan, dan praktik-praktik sosial (Maybee, 2019, p. 14). Para penyandang disabilitas mungkin saja memiliki pemaknaan yang sama tentang kondisi fisik mereka (contoh: “Aku adalah seorang difabel karena indra penglihatanku tidak berfungsi semestinya”), tetapi bagaimana seorang penyandang disabilitas mendefinisikan dan merasakan tubuhnya tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial. Misalnya, stigmatisasi masyarakat terhadap penyandang disabilitas dapat memengaruhi pandangan seorang difabel mengenai kondisi tubuh mereka. Selain itu, penggunaan istilah “cacat” dan “tidak normal” dapat membentuk pemaknaan terhadap diri mereka sendiri sebagai individu yang dibedakan dari manusia lainnya.

2. Social Body

Dimensi sosial tentang tubuh merujuk pada penggunaan tubuh sebagai simbol alam, masyarakat, dan budaya (Scheper-hughes & Lock, 1987). Tubuh memproyeksikan nilai, norma, dan kepercayaan yang dipelihara masyarakat. Sebagai contoh, tubuh yang lengkap dan berfungsi dengan baik dianggap sebagai tubuh ideal untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebaliknya, kondisi tubuh seorang penyandang disabilitas seolah menjadi penanda akan ketidakmampuan dirinya dalam melakukan pekerjaan. Maybee (2019) juga mencontohkan bagaimana masyarakat meyakini bahwa perempuan penyandang disabilitasterutama disabilitas intelektualtidak cocok menjadi seorang ibu. Hal tersebut menunjukkan bagaimana tubuh dijadikan sebagai simbol peran-peran sosial di masyarakat. Selain sebagai simbol peran sosial, disabilitas juga sering kali digunakan dalam ungkapan figuratif oleh masyarakat, seperti cinta buta, diam membisu, dan tone deaf

3. Body Politics

Hubungan antara tubuh tidak terlepas dari kontrol dan kekuasaan. Dalam konteks disabilitas, kekuasaan tersebut dipraktikkan melalui ableisme, yaitu bentuk diskriminasi yang berakibat terhadap munculnya prasangka karena non-disabilitas memandang rendah penyandang disabilitas. Pada dua konsep tubuh yang telah dijelaskan sebelumnya, berbagai stigmatisasi, idealitas, dan peran sosial merupakan bentuk ekspresi kekuasaan yang dimiliki oleh individu atau kelompok non-disabilitas. 

Praktik kekuasaan lain terhadap tubuh manusia juga tampak pada label “sakit” dan perlu “disembuhkan” yang mendorong beragam metode ataupun pengobatan alternatif untuk memperbaiki kondisi fisik penyandang disabilitas. Dengan begitu, mereka akan menjadi selayaknya manusia “normal” lainnya (Rahadian et al., 2023). Baik masyarakat yang ableist (sebutan untuk orang yang mempraktikkan ableisme) maupun pihak yang menjanjikan “kesembuhan” berupaya untuk mereproduksi standar tubuh ideal. Mereka mengontrol penyandang disabilitas atau orang yang merawat penyandang disabilitas agar mengikuti cara-cara untuk mencapai standar tersebut.   

 

Itulah kontekstualisasi disabilitas mulai dari dimensi individu, sosial, hingga politik melalui konsep The Three Bodies. Pada intinya, ketiga macam konsep tubuh di atas tidak terlepas dari masyarakat yang turut membentuk definisi-definisi mengenai tubuh manusia. Berbagai stigmatisasi, prasangka, diskriminasi, dan standar ideal mengenai kondisi tubuh manusia tersebut turut berpengaruh terhadap tantangan kesetaraan serta inklusivitas yang dialami teman difabel.

Nah, sekarang saatnya aku, kamu, dan kita semua lebih gigih dalam menyebarkan semangat inklusivitas, ya!

 

 

Referensi:

Britannica, T. Editors of Encyclopaedia (2024, February 1). ableism. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/ableism

Maybee, J. E. (2019). Making and Unmaking Disability: The Three-Body Approach (Explorations in Contemporary Social-Political Philosophy). Rowman & Littlefield.

Rahadian, A. S., Baskoro, A. A., Yulianti, I., Ghani, M. W., Purwaningsih, S. S., & Fatoni, Z. (2023, June 5). Pengobatan alternatif dan klaim kesembuhan penyandang disabilitas: mispersepsi yang perlu diluruskan. The Conversation. https://theconversation.com/pengobatan-alternatif-dan-klaim-kesembuhan-penyandang-disabilitas-mispersepsi-yang-perlu-diluruskan-206096

Scheper-hughes, N., & Lock, M. M. (1987). The Mindful Body: A Prolegomenon to Future Work in Medical Anthropology. Medical Anthropology Quarterly, 1(1), 6–41. https://www.jstor.org/stable/648769

 

Penulis: Afifah Nur Aisah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top