“Apa yang kau lakukan itu namanya belas kasihan, aku ingin kau membantu
kami saat kami minta bantuan.”
Hear Me Our Summer
Pernahkah kamu merasa bahwa bantuan yang diberikan lebih terasa seperti belas kasihan daripada dukungan nyata? Dalam film Hear Me Our Summer, kalimat ini menggambarkan pandangan hidup yang mengajarkan kita tentang inklusivitas dan menghargai orang lain bukan berdasarkan kekurangan mereka, melainkan potensi dan perjuangan mereka. Hear Me Our Summer merupakan film drama Korea Selatan yang dirilis pada akhir tahun 2024. Menariknya, film ini mengangkat tema isu disabilitas, loh! Khususnya tunarungu. Film ini menggambarkan kehidupan Yeo Reum dan adiknya, Ga Eul, yang merupakan seorang atlet renang tunarungu dengan sangat apik dan menyentuh. Melalui penggambaran karakternya, film ini memberikan perspektif menarik tentang kehidupan yang lebih inklusif. Selain itu, film ini juga meng-highlight hal-hal yang tidak banyak kita sadari, seperti perjuangan dan mimpi seorang penyandang disabilitas, serta peran orang-orang yang ada di sekitar mereka. Seperti apa, ya?
Penggambaran karakter dalam film ini cukup menarik. Kita diberikan gambaran kehidupan dari berbagai point of view karakternya. Terdapat tiga pemeran utama dalam film ini. Tokoh pertama, yaitu Yeo Reum yang merupakan seorang CODA (Child of Deaf Adults). Istilah CODA merujuk kepada anak yang dapat mendengar yang lahir dari orang tua yang tunarungu baik salah satu, maupun kedua orang tuanya (Mand et al., 2009). Di dalam keluarganya, hanya dia yang bisa mendengar dan berbicara. Selama hidupnya, dia selalu merasa bertanggung jawab untuk merawat keluarganya karena mereka mempunyai disabilitas. Dia tidak tahu apa mimpinya, apa yang ingin dia capai dalam hidupnya. Setiap hari, dia menemani adiknya berlatih renang dan menghabiskan waktu bersamanya, sambil tetap belajar dan bekerja. Dari karakter Yeo Reum, kita diajak untuk memahami kerumitan, suka duka kehidupan mereka yang berperan sebagai penghubung bagi keluarganya yang disabilitas. Selain itu, kita diajak untuk bisa menerima dan menghargai perbedaan yang ada dalam masyarakat, serta menciptakan lingkungan yang inklusif untuk kenyamanan bersama.
Di sisi lain, Ga Eul tidak suka ketika kakaknya terlalu protektif kepadanya. Dia tidak ingin menjadi beban bagi kakaknya, yang selama ini mengorbankan hidupnya untuk merawatnya. Karakter Ga Eul digambarkan sebagai perempuan yang ceria, berani, dan jahil, serta gigih dalam mengejar mimpinya, yaitu mengikuti olimpiade renang. Dia bekerja keras untuk menggapai impiannya walaupun sering dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Terdapat adegan ketika Ga Eul dan teman-teman atlet renangnya mendapat perlakuan yang tidak pantas dari orang tua atlet renang tipikal. Mereka memandang rendah para penyandang disabilitas dan tidak terima jika anaknya memakai fasilitas yang sama. Hal ini membuat Ga Eul dan teman-temannya harus pindah tempat latihan. Dari karakter Ga Eul, kita diperlihatkan point of view dari penyandang disabilitas bahwa mereka tidak ingin dianggap menjadi beban untuk orang-orang di sekitarnya, dianggap lemah, apalagi dipandang tidak mampu. Mereka butuh untuk didukung, bukan untuk dikasihani. Mereka ingin dihargai atas kemampuan dan perjuangan mereka, bukan ketidakmampuan mereka.
Tokoh yang terakhir adalah Yong Jun, pemuda tipikal yang sedang mencari tujuan hidup setelah lulus kuliah dan menunjukan ketertarikannya kepada Yeo Reum. Dia pernah belajar bahasa isyarat sehingga tidak kesulitan dalam berinteraksi dengan Yeo Reum dan Ga Eul. Dia memperlakukan keduanya selayaknya teman. Hal ini membuat mereka merasa nyaman untuk menghabiskan waktu bersama. Yong Jun digambarkan sebagai orang yang penuh rasa empati. Ada adegan ketika dia ingin merasakan apa yang dirasakan oleh tunarungu, tidak mendengar suara. Dia berjalan di tengah keramaian kota dengan menggunakan ear plugs dan membiarkan dirinya tidak mendengar suara apapun. Hal ini juga mengajak kita untuk berempati terhadap keadaan mereka tanpa menurunkan nilai diri mereka. Karakter Yong Jun juga mengajarkan kita untuk lebih inklusif dan terbuka dalam menghadapi perbedaan, seperti dia berusaha untuk mengatasi hambatan dalam berinteraksi dengan tunarungu dengan kemampuannya berbahasa isyarat. Selain itu, keluarga Yong jun juga digambarkan sebagai keluarga yang tidak memandang orang lain berbeda. Hal ini terlihat dari percakapan ayah dan ibu Yong jun ketika tahu anaknya menyukai perempuan tunarungu. Ketika ibu Yong jun bertanya apakah ayah Yong jun tidak keberatan dengan hal itu, ayah Yong jun berkata, “Kenapa? Yang penting dia baik. Banyak orang yang bisa berbicara, tetapi tidak bisa berkomunikasi”.
Nah, gimana nih teman-teman, indah banget ya ketika kita bisa hidup di lingkungan yang menjunjung inklusivitas. Tempat dimana kita bisa saling menghargai perbedaan, memperlakukan manusia selayaknya manusia, dan memberikan ruang untuk bermimpi dan berkembang untuk semua orang. Dari kisah setiap karakternya, Hear Me Our Summer mengajak kita untuk ikut menciptakan lingkungan yang inklusif, terutama bagi penyandang disabilitas. Hal ini bisa kita lakukan mulai dari hal-hal kecil, loh! Seperti belajar bahasa isyarat, lebih sensitif terhadap kebutuhan orang lain, atau bahkan hanya dengan menunjukkan empati dalam interaksi sehari-hari. Jadi, ayo kita junjung tinggi inklusivitas!
Referensi
Mand C., Duncan RE, Gillam L., Collins V. & Delatycki MB, 2009, ‘Genetic selection for deafness: The views of hearing children of deaf adults’, 35, 722–728. https://doi.org/10.1136/jme.2009.030429