Ableism: Bias Tersembunyi yang Mengikis Empati

Siapa yang dalam hidupnya tak diremehkan? Mungkin sesekali kita pernah mengalami disepelekan, dianggap sebelah mata, dan bahkan direndahkan. Mirisnya, pengalaman tidak mengenakkan tersebut sudah menjadi makanan sehari-hari bagi teman difabel. 

“One’s dignity may be assaulted, vandalized, and cruelly mocked, but it can never be taken away unless it is surrendered.” —Michael J. Fox

Kutipan dari aktor ternama asal Kanada yang juga hidup dengan Parkinson ini memberi gambaran betapa martabat seseorang bisa terus diserang, tetapi tetap tak bisa direnggut tanpa persetujuan dalam diri sendiri. Sayangnya, sebagian dari masyarakat selalu berupaya untuk menyerang martabat, terkhususnya teman difabel dengan bentuk diskriminasi halus yang dikenal sebagai ableism. 

Stigma buruk terhadap difabel, atau yang dikenal sebagai ableism, menjadi suatu bias negatif yang mengendap dalam masyarakat. Beberapa orang menganggap bahwa difabel adalah sosok yang “kurang” atau “tidak normal”. Hal tersebut sesuai dengan pengertian ableism sendiri yaitu tindakan yang mendiskriminasi, merendahkan, atau menganggap difabel sebagai kelompok yang lebih rendah dibandingkan orang non difabel. Ableism sering muncul sebagai bentuk candaan yang menjadikan kondisi difabel sebagai bahan gurauan.  

Ableism perlahan menjadi budaya digital dalam bermedia sosial. Istilah autis sering dilontarkan beberapa oknum untuk menggambarkan seseorang yang memiliki cara berpikir yang berbeda. Begitu pula dengan istilah cacat yang sering dilemparkan sebagai bahan gurauan. Tindakan diskriminasi ini diperkuat dengan adanya konten viral, seperti meme, video parodi, dan lainnya yang memuat komentar merendahkan difabel secara terang-terangan. Hal ini dapat membuat difabel merasa tidak diterima dan semakin sulit untuk mendapatkan perlakuan yang setara.

Konten yang bersifat ableist sering mendapat sorotan karena dianggap lucu dan menghibur. Banyak kreator tanpa sadar memakai stereotip negatif difabel demi meningkatkan engagement. Gurauan yang dianggap “iseng” justru memperkuat stigma bahwa difabel layak untuk ditertawakan. Hal ini semakin menanamkan anggapan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang memalukan.

Ableism adalah suatu bias yang tanpa disadari mengikis rasa empati dalam masyarakat. Normalisasi ableism di media sosial menunjukkan bahwa masih banyak orang yang belum sepenuhnya terbuka mengenai keberagaman neurologis dan fisik. Gurauan yang mendiskriminasi difabel di dunia maya mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan serupa di dunia nyata. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengusahakan lingkungan inklusi baik bagi difabel maupun non difabel dengan membangun interaksi yang penuh empati.

 

Penulis: Izzati Ramadhani Alyaa Wibowo

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top