Invisible Disability: Terjebak Dalam Kalimat “Kamu Terlihat Baik-Baik Saja”

 

Istilah ‘invisible disability’ tampaknya masih jarang terdengar di telinga masyarakat, wajar jika banyak orang yang tidak tahu salah satu jenis disabilitas yang satu ini. Sama seperti arti kata ‘invisible’ yaitu ‘tak terlihat’, ‘invisible disability’ ini merujuk pada jenis disabilitas yang tidak tampak, tidak terlihat, atau tersembunyi. Invisible Disability Association mendefinisikan invisible  disability sebagai suatu kondisi fisik, mental, atau neurologis yang tidak terlihat dari luar, namun membatasi pergerakan, indera, atau aktivitas sehari-hari bagi penyandangnya. Invisible disability ini mencakup penyakit kronis, kelelahan kronis, mental illness, dan chronic dizziness. Gangguan kognitif dan neurologis, epilepsi, disleksia, serta asma juga termasuk dalam invisible disability (Lingsom, 2008). Sayangnya, penyandang invisible disability ini sering disalahpahami oleh masyarakat.

Orang dengan disabilitas yang tidak terlihat berupa penyakit kronis, autoimun, ataupun gangguan sulit tidur sering kali dianggap berpura-pura sakit. Hal ini terjadi karena gejala yang mereka alami tidak terlihat jelas secara kasat mata oleh orang lain sehingga tampak baik-baik saja. Kondisi ini tentu menyulitkan para penyandang invisible disability ketika mereka membutuhkan bantuan orang lain. Tidak jarang juga para penyandang invisible disability dikomentari oleh orang lain sebagai orang yang malas ketika mereka menggunakan fasilitas atau akses khusus disabilitas hanya karena mereka terlihat baik-baik saja secara penampilan. Para penyandang invisible disability kerap dituntut untuk kembali sehat dan beraktivitas normal karena orang lain menilai mereka “tidak cukup cacat” untuk dianggap sebagai penyandang disabilitas (Kattari et al., 2018).

Orang dengan disabilitas yang tidak terlihat seringkali mengalami dilema dalam mengungkap kondisi mereka. Dilema ini dipengaruhi oleh kecemasan yang timbul karena kondisi fisik mereka terlihat sama seperti orang lain pada umumnya, walaupun sebenarnya mereka memiliki kondisi yang rentan (Lingsom, 2008). Pada akhirnya, orang dengan invisible disability memilih untuk diam daripada mengakui kelemahannya. Rasa frustrasi banyak dialami para penyandang invisible disability akibat mereka selalu berada di garis antara menjadi penyandang disabilitas dan dipandang sebagai non-disabilitas oleh orang lain (Kattari et al., 2018).

Perlunya pemahaman masyarakat mengenai disabilitas yang tidak terlihat atau invisible disability sangat memengaruhi terwujudnya inklusivitas dalam kehidupan masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih luas pada masyarakat mengenai disabilitas yang tidak terlihat tentunya dapat mewujudkan ruang aman bagi para penyandang invisible disability dalam beraktivitas dengan produktif. Melalui universal design (UD) kebutuhan penyandang invisible disability dapat terbantu secara tidak langsung dalam hal akomodasi dan fasilitas publik tanpa harus meminta bantuan khusus (Kattari et al., 2018).

 

Referensi:

Disabled World. (2023, May 1). Invisible disabilities: List and general information. https://www.disabled-world.com/disability/types/invisible/ 

Kattari, S. K., Olzman, M., & Hanna, M. D. (2018). “You look fine!” Affilia, 33(4), 477–492. https://doi.org/10.1177/0886109918778073 

Lingsom, S. (2008). INVISIBLE IMPAIRMENTS: Dilemmas of concealment and Disclosure. Scandinavian Journal of Disability Research, 10(1), 2–16. https://doi.org/10.1080/15017410701391567 \

What is an invisible disability?. Invisible Disabilities® Association. (2023, October 23). https://invisibledisabilities.org/what-is-an-invisible-disability/ 

Penulis: Sasya Yovanka Risdani

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Scroll to Top