and the people who have the misfortune of being
deaf, blind and mute, or who lost these three senses
due to an accident, would love to have a clear and
precise language by touch.— Denis Diderot —
Siapa sangka putra dari seorang tukang sepatu di perkotaan kecil yang jaraknya sekitar 20 mil dari Paris dapat mencetuskan perubahan baru dengan membantu penyandang disabilitas netra di seluruh dunia. Ia adalah Louis Braille, putra dari pasangan Simon-Rene Braille dan Monique Baron yang lahir pada 4 Januari 1809 di Coupvray, Prancis. Braille kecil, pada usia 3 tahun sedang bermain di workshop ayahnya dan tidak sengaja melukai mata kanannya dengan alat pembuat sepatu. Tidak adanya pengetahuan medis yang dapat menyelamatkan penglihatan pada saat itu, membuat mata kiri Braille semakin meradang diduga karena adanya oftalmia simpatik.
Pada awal abad ke-19, upaya di Eropa untuk membantu penyandang disabilitas netra membaca dan menulis masih berpusat pada memperbesar huruf Latin atau Romawi dengan bahan seperti tali, logam, kulit, atau kertas. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Meski upaya untuk menciptakan sistem tulisan bagi penyandang disabilitas netra sudah dimulai sejak ribuan tahun sebelumnya, terobosan besar baru terjadi pada abad ke-19 dengan inovasi Louis Braille. Braille memperkenalkan inisiasinya yang terinspirasi dari sistem “tulisan malam” oleh Kapten Charles Barbier, seorang purna perwira militer Prancis. Sistem ini awalnya digunakan oleh tentara untuk membaca perintah dalam kegelapan, tetapi tidak cocok untuk keperluan umum. Braille menyempurnakan ide tersebut dengan mengembangkan tulisan berbasis titik yang lebih mudah dirasakan oleh jari.
Memasuki tahun 1834, saat Louis Braille berusia 20 tahun, ia berhasil mencanangkan perancangan sistem tulisan yang menggunakan enam titik timbul domino sebagai dasar untuk membentuk hingga 63 variasi huruf, angka, dan simbol lainnya. Saat masih mengembangkan sistem ini, Louis Braille diangkat menjadi guru di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles (Institut Nasional untuk Anak-anak Disabilitas Netra) di Paris, yang didirikan oleh Monsieur Valentin Hauy pada tahun 1783. Setelah sistem tulisannya dianggap cukup sempurna, Braille mulai menggunakannya dalam pengajaran, dan murid-muridnya menerimanya dengan antusias. Pada tahun 1851, Dr. Dufau selaku kepala staf pengajar mengajukan sistem Braille kepada Pemerintah Prancis. Dr. Dufau kerap mengamati cara Braille mengajar dan menyadari bahwa murid-murid Braille mampu memahami ajaran gurunya dengan cepat.
Buku pertama yang dicetak menggunakan sistem Braille, pada tahun 1837, berjudul Pre´cis sur l’histoire de France divise´e par sie´cle, accompagne´ de synchronismes alates al´histoire ge´ne´rale place´sa` la fin de chaque re`gne. Buku ini merupakan buku setebal 152 halaman, beratnya 1.750 gram, halaman-halamannya direkatkan di bagian depan dan belakang. Akan tetapi, baru pada tahun 1854 sistem Braille secara resmi diadopsi di Prancis. Sayangnya, hingga Braille tutup usia pada 6 Januari 1852, ia tidak pernah menerima pengakuan atau penghargaan resmi atas karyanya. Inisiasinya baru diakui secara resmi di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles dan mulai diadopsi oleh sekolah-sekolah bagi penyandang disabilitas netra di berbagai negara setelah Braille wafat.
UNESCO menetapkan sistem Braille sebagai bahasa universal dan diadaptasi ke bahasa-bahasa non-Eropa pada tahun 1949 dan atas permintaan India, UNESCO mengambil alih masalah penentuan sistem baca-tulis terbaik untuk tuna netra agar dapat menjadikannya sistem universal untuk semua bahasa. Pada tanggal 21 Februari 2005, bertepatan dengan Hari Bahasa Ibu Internasional, serta bekerja sama dengan Persatuan Tunanetra Sedunia, UNESCO menyoroti sistem Braille sebagai ”bahasa komunikasi yang penting, sama sahnya dengan semua bahasa lain di dunia”.
Tanggal 4 Januari, hari kelahiran Louis Braille, diperingati secara internasional sebagai “Hari Braille”. Berkat inovasinya, lebih dari 40 juta penyandang disabilitas di seluruh dunia dapat belajar membaca dan menulis, sehingga memperoleh pendidikan yang setara dengan mereka yang dapat melihat.
Penulis: Maftuchah Aleyda Yahya
Referensi:
Jiménez, J., Olea, J., Torres, J., Alonso, I., Harder, D., & Fischer, K. (2009). Biography of Louis Braille and Invention of the Braille Alphabet. Survey of Ophthalmology, 54(1), 142–149. https://doi.org/10.1016/j.survophthal.2008.10.006